Wednesday, March 1, 2017

(Bukan) Tentang Kita

2

A Short Story: (Bukan) Tentang Kita
Ratu Yunita Sekar


Perihal menyukaimu adalah hal yang tak mudah. Berkali-kali aku melawan logika agar berhenti, kemudian kudapati diriku masih melangkah ke arahmu. Berkali-kali tembok nan tinggi menghalangiku, namun berkali-kali pula aku merubuhkannya seketika. Ya, tembok yang kubangun dengan susah payah dengan mengumpulkan kepingan-kepingan ketidakmungkinan, sekejap runtuh oleh satu alasan yang cukup putus asa, “jodoh siapa yang tahu?”
***

Aku tersenyum membaca lembar terakhir diaryku di masa kuliah dulu. Di luar orang-orang sibuk menyiapkan segala sesuatu.

“Mempelai pria akan tiba pukul 9.” Itu suara ibuku entah ia sedang berbicara dengan siapa.

 “Maya, kau sudah siap dirias?” Tanteku tiba-tiba masuk kamar bersama seseorang yang memegang peralatan make up di tangannya.

Aku mengangguk lalu duduk di depan cermin tanpa aba-aba. Perlahan, kuas dengan lembut menari di permukaan wajahku. Kuharap hari ini berjalan lancar, doaku dalam hati.
--

Memiliki sahabat sejak kecil memang menyenangkan rasanya. Meski terkadang menyebalkan, kau adalah seseorang yang bisa aku andalkan. Dulu, aku selalu ingin seorang kakak laki-laki. Katamu, hal itu memang idaman termainstream semua anak sulung perempuan.

“Kakak!” aku bercanda memanggilmu seperti itu yang otomatis kaubalas dengan jitakan ringan di kepalaku.

“Kita seumuran, jangan sok muda gitu.” Katamu pura-pura marah.

“Kamu sepuluh hari lebih tua tauuuu.” Balasku tak mau kalah.

“Terserah.”

Begitulah kamu. Pada akhirnya mengalah akan kekeraskepalaanku. Mungkin ini akan kusesali di kemudian hari. Saat kau tak pernah memandangku sebagai wanita.
--

“Kau deg-degan?,” goda sang perias.

Aku tertawa mengiyakan. Tentunya. Gaun pengantin yang telah disiapkan sebulan lalu telah kukenakan juga riasan simpel sesuai requestku. Aku bisa merasakan detak jantung yang berirama tak menentu. Sayup-sayup kudengar bahwa sang pengantin pria baru saja tiba. Tanganku basah tanda gugup. Ibuku yang tak kusadari telah berdiri di sampingku menggenggamnya dengan lembut. Mencoba menenangkan, ia tersenyum menahan tangis.

“Putri sulungku sebentar lagi akan menikah. Rasanya baru kemarin ibu melihatmu merangkak, bapak mengajarimu bersepeda. Cepat sekali waktu berjalan. Meski menantu ibu adalah seseorang yang kita kenal sejak lama, rasanya ibu berat memberikan tanggung jawab ibu sepenuhnya padanya.” Perkataan ibu persis seperti apa yang bapak katakan kemarin saat aku menemaninya menonton siaran langsung bulu tangkis favoritnya.

“Ibu, jangan mellow mellow gitu ah.” Bapak tiba-tiba muncul bergabung bersama kami.

“Anak bapak yang gak pinter dandan ternyata cantik juga ya? Jangan nangis sayang. Makeupnya nanti luntur.” Bapak memang suka menceriakan suasana. Meski begitu tergambar jelas di wajahnya rasa haru seorang ayah yang sebentar lagi akan melepas putri pertamanya pada pria lain. Putri yang selama ini bergantung padanya, akan bergantung kepada orang lain sepenuhnya.
--

Aku makin lama makin bergantung padamu. Hubungan kita berjalan seperti itu. Aku selalu membutuhkanmu. Kau menjadi air saat aku sedang tersulut amarah. Kau menjadi api, saat semangatku meredup. Kau bisa menjadi pendengar yang baik lalu seketika berubah menjadi penasehat yang bawel. Kau pelawak yang payah meski begitu aku tetap tertawa jika itu adalah dirimu. Katamu, aku pun sama. Menjadi pelipur laramu. Menjadi peredam emosimu. Itu katamu, meski jelas bahwa kau berbuat lebih banyak untukku.

Aku tak pernah menyadari bahwa aku menyukaimu. Hingga suatu hari di hari-hari pertama di perguruan tinggi, aku melihat sorot mata itu. Sorot mata yang baru kulihat selama 16 tahun pertemanan kita. Sorot mata yang kutebak penuh cinta. Dan itu bukan untukku. Kau jatuh cinta untuk pertama kalinya. Harusnya aku bahagia, tapi ada sesuatu yang mengganggu di hatiku. Semacam batu yang menohok hingga tenggorokan, membuatku sesak nafas, dan ingin mengeluarkan air mata. Saat itu aku belum tahu bahwa itulah yang orang-orang namakan cemburu.
--

Sesak nafas saat gugup memang lebih menyenangkan dibanding sesak karena cemburu. Memang sesak, tetapi sesaat setelah kau menghembuskan nafas pelan-pelan, ada aroma bahagia di sana. Ijab kabul akan segera dimulai. Aku menanti di kamar dengan debaran jantung yang makin tidak karuan. Debaran terdahsyat yang pernah kualami mengalahkan debaran saat aku jatuh cinta padanya untuk pertama kali.

Kudengar suara bapak sebagai waliku. Menyatakan kalimat penyerahan tanggung jawabnya diikuti dengan suara bass khas miliknya. Tanda bahwa ia menerima tanggung jawab itu dipundaknya.

“Sah!”

“Alhamdulillah” ucapku penuh syukur masih di dalam kamar menantinya menjemputku.
--

Di tahun kedua di perguruan tinggi, kau dan dia semakin dekat. Kau selalu menyempatkan diri menjemputnya ke kampus. Orang-orang bilang kalian adalah pasangan serasi. Terkadang orang yang tahu bahwa kita adalah sahabat kecil menatapku iba. Seolah mereka tahu seperih apa yang kurasakan. Meski begitu kau bilang, kalian tak ada hubungan apa-apa. Masih PDKT katamu.
Tak lama setelah itu akhirnya kau mengakui hubunganmu dengannya. Aku tertawa terpaksa. Kau tak tahu bahkan untuk menarik lengkungan di bibir terasa sulit, tapi saat itu aku tertawa. Itu mungkin adalah tangisku dalam bentuk lain.

--

Ibu dan tante memelukku sambil menangis bahagia. Air mata yang kutahan sepagian kini tumpah ruah di pundak ibu.

Suara gorden terungkap menghentikan kegiatan tangis menangis itu. Sang pengantin pria kini telah berdiri di hadapanku, duduk di sampingku, lalu menjalankan beberapa acara adat. Syukurlah, semua berjalan tanpa gangguan.
--

Waktu kita bersama tak terganggu sedikit pun meski kau sudah punya kekasih. Tak jarang kalian bertengkar karena kau bersamaku. Itu memang wajar dan aku memakluminya. Ia jelas tak ingin berbagi perhatianmu denganku.

Hari itu kau sedih. Kau sangat mencintainya. Matamu berkata demikian. Tapi kau juga tak ingin membuatku sedih karena kehilangan sosok kakak yang selama ini kubutuhkan.


Hari itu aku ikut bersedih melihat cahaya di wajahmu meredup. Namun ada sisi lain di hatiku yang merasa bahagia. Kurang ajar memang. Aku mengaharapkan kau dan dia berpisah. Egois memang. Di redupnya cahaya wajahmu aku mendapat secercah harapan untuk memilikimu.

--

Cincin kini telah tersemat di jari manisku. Tanda bahwa aku adalah miliknya. Ia memandangku sesaat. Hanya beberapa detik tapi tembus ke relung hati. Tangannya terulur yang meski malu-malu kusambut jua. Dengan langkah yang pelan, ia menuntunku ke ruang depan, hendak mendengarkan nasihat pernikahan. Genggaman itu terasa hangat, sama hangatnya seperti dulu. Bahkan lebih hangat.
--

Pernah aku melihatmu memandangnya dari jauh. Aku iri. Aku tahu kau menyayangiku tapi dengan defenisi berbeda dengan rasa sayangmu padanya. Sorot mata seperti itu hanya kau tujukan untuknya. Aku harusnya menyerah. Rasanya lelah untuk berharap. Tapi saat kau bersamaku dengan perhatian yang begitu besar, harapan itu muncul kembali. Kau belum menjadi miliknya secara utuh. Kesempatan itu masih ada walau hanya sebesar wijen.

Suatu hari kudengar kalian resmi berpisah. Kau tak tahu hatiku berteriak kegirangan. Lalu kulihat wajahmu yang tanpa harapan. Menyedihkan. Akupun ikut menangis di dekatmu. Kumohon lihatlah aku, harapku dalam hati.

--

Dengan kikuk kami berdua duduk bersisian mendengarkan ustadz memberikan nasihatnya. Sesekali kudapati ia melirik ke arahku kemudian tersipu. Tangan itu masih menggenggam tanganku. Kuakui akupun selalu melirik ke arahnya demi melihat lirikan sekilasnya lagi juga wajah tesipu yang sangat kusuka itu.
--

Di hari kelulusan, senyummu telah kembali utuh. Kita berfoto bersama ditemani keluarga kita.


“lu mau foto berdua gak?” adikmu, Fathir menawarkan.


“Woy, kita beda 2 tahun. Kapan sih kamu panggil kami kakak. Dan lagi, kami sudah sarjana.” Kataku protes yang kutau sia-sia.


“nggak mau, gue lebih tinggi dari kalian.”
Tukk. Sukses jitakanmu mendarat indah di kepalanya. Lalu tawa pun menggema di antara kita. Aku bersyukur kau sudah ceria seperti dulu.

--

Cekrek.

Suara kamera menandakan satu kebahagiaan kembali berhasil diabadikan. Aku dan dia serta keluarga besar. Dari dulu kami sudah seperti keluarga tetapi hari ini, di mata agama dan hukum, kami resmi menjadi keluarga.

“Terima kasih,” ucapku pada pria yang kini berdiri di sampingku.
--

“Terima kasih,” ucapku pada Fathir saat ia dengan terengah-engah memberitahukan pesanmu untukku.

“Sama-sama,” katanya lalu menepuk pundakku sambil menatapku dengan sorot mata yang tak dapat kudefinisikan.


Beberapa hari yang lalu, ponselku memang bermasalah. Kau tak bisa mengirimiku pesan lewat ponsel. Aku tersenyum tak menyangka bahwa Fathir rela lari-larian hanya untuk menyampaikan pesanmu. Di sisi lain aku juga merasa bahwa Ada harapan. Aku merasakan harapan. Ya, aku memang berharap hari ini menjadi hari yang kutunggu-tunggu. Hari di mana kau bisa memandangku sebagai wanita. Bukan sebagai sahabat kecilmu yang berharga.


Aku menuju  kafe dekat tempatmu bekerja. Sesuai pesanmu kau akan menungguku di sana. Dari seberang jalan aku bisa  melihatmu duduk di dekat jendela memakai kemeja hitam putih yang paling kusuka. Kau terlihat sangat tampan. Kemeja itu cocok dengan kulit putih dan potongan rambut terbarumu. Kau tersenyum gugup dan tersipu.


“Ada apa?” tanyaku penasaran seduduknya aku di kursi di hadapanmu.


Matamu menatapku lekat. Mencoba berbicara tapi tenggorokanmu serat.


“Pelan-pelan aja. Aku dengerin baik-baik kok.”

--

Doaku didengar oleh Tuhan. Kini aku benar-benar memiliki seorang kakak. Kakak dalam arti yang sebenarnya. Telah hilang sempurna rasa sakit saat kau memberitahuku kau akan melamar mantan kekasihmu. Seiring berjalannya waktu aku belajar berdamai dengan perasaan. Dulu aku bagaikan bumi dan kuanggap engkau sebagai matahari. Kaulah yang menguasai pusat perhatianku. Hingga aku tak menyadari bahwa selama ini ada bulan yang senantiasa menemaniku.

Tak kusangka, di tengah kesedihanku kehilanganmu, adikmu selalu mengiringiku. Meraih tanganku ketika aku nyaris terjatuh saat kau sepenuhnya telah menjadi milik orang lain. Meminjamkan pundaknya meski harus basah oleh air mataku. Adikmu yang sedikit kasar tetapi sebenarnya berhati lembut. Setelah pertemuan kita di kafe hari itu, aku baru mengerti bahwa arti tepukan ringannya juga tatapan matanya saat itu adalah semangat untukku agar tetap kuat. Adikmu yang beberapa saat  lalu telah berikrar mengambil alih tanggung jawab orang tuaku dan menyimpannya di pundaknya. Ia yang kadang membuatku dongkol tak karuan mampu mengalihkan pandangan dan hatiku.

Kau tahu apa yang ia katakan waktu itu?

“Jika lu cari sosok kakak, gue mundur deh. Tapi kalo lu nyari suami, the one in front of you is the best choice.”

Dia memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, kan? Dengan lamaran yang sama sekali tak romantis, aku bisa terjerat. Anehnya, kalimat itu menjadi kalimat favorite ku hingga saat ini, dan kuyakin hingga nanti.

Aku tak pernah menyangka, tepat di hari ini, ia tengah berdiri di sampingku, bersiap menapak jalan demi jalan, lurus pun berliku, bersamaku.

Aku memang tak pernah menyangka karena perkara jodoh adalah perkara yang telah ditakdirkan.
Semua ini tentang takdir yang telah tertulis, tanpa bisa kau ungkap sebelum waktunya tiba.


-The End-

2 comments: