Wednesday, October 18, 2017

Niskala Rasa Ep. 5: Penolakan

0

Kyuhyun - Million Pieces MV


"Izinkan aku berfikir, kak. Sepulang umroh, aku akan memberi jawaban pada kakak."

Itulah jawaban Amira saat aku bertanya perihal kelanjutan hubungan kami. Tentu. Aku akan memberinya waktu. Tidak mungkin aku mendesak gadis itu setelah apa yang telah kuperbuat padanya. Aku sudah amat sangat beruntung karena ia bersedia menemuiku, bukan?

Dua hari kemudian, aku memutuskan untuk mengantar Amira dan keluarganya ke bandara. Itu bukanlah apa-apa, tapi setidaknya aku ingin berbuat sesuatu sebelum ia pergi. Ibu dan kakakku juga menujukkan dukungannya dengan menyusulku ke Makassar. Mereka juga ingin mengantarkan Amira dan keluarga.

Kini aku telah berada di mobil Kak Luthfi, kakak Amira. Bukan Cuma berdua, ibuku dan Amira pun berada di mobil yang sama. Kak Luthfi memegang kemudi. Sorot matanya yang tajam dapat kulihat melalui spion depan. Sorot mata itu tidak terlihat ramah, membuatku merasa tidak nyaman.

Mesin mobil pun dinyalakan dan dalam hitungan detik mobil melesat dengan kecepatan tinggi. Kak Luthfi mengemudikan mobil dengan membabi-buta, seolah ia adalah Kimi Räikkönen yang tengah berada di sirkuit Formula 1. Aku tidak mengerti apa yang ada dipikirannya saat ini, hanya saja aku merasa bahwa ia sedang melakukan aksi penolakan terhadapku. Aku bahkan belum menerima jawaban dari adiknya, dan kini kakaknya menunjukkan kode penolakannya terhadapku. Sepertinya, perjuanganku ke depan tidak akan mudah.

Jangan tanyakan apa yang terjadi setibanya kami di gerbang keberangkatan. Hingga pesawat yang membawa Amira terbang, kak Luthfi tak sedikitpun menunjukkan keramahannya padaku. Ada rasa kecewa yang menyesap di hati tetapi perlahan aku bisa berdamai dengan kekecewaan itu. Aku berusaha mengerti bahwa sikap kak Luthfi menunjukkan sisi protektifnya terhadap Amira. Jika aku berada di posisinya, aku juga pasti akan sangat selektif saat ada laki-laki yang berusaha mendekati adik semata wayangku. Sikap penolakannya mungkin adalah bentuk kasih sayangnya kepada Amira dan tugasku adalah untuk tidak pernah menyerah hanya karena kode penolakan ini. Mungkin ini juga adalah konsekuensi dari rasa ragu yang menderaku dulu. Rasa ragu yang tak hanya menyakitiku, tapi juga Amira.

Beberapa jam berselang, ponselku berdering menunjukkan nama Amira di layarnya. Segera aku mengangkatnya dan terdengar ucapan salam dari seberang sana.

"Kak, maafkan sikap kak Luthfi tadi. Aku sangat tidak enak apalagi sama Ibu. Pasti beliau tidak menyangka kakakku akan bersikap seperti itu."
.....
.....
Ada jeda sejenak hingga aku menjawab

"Aku tadi sedikit kecewa, tapi aku dan ibu bisa mengerti. Jadi, jangan merasa terbebani." Kuharap kalimat itu bisa menenangkannya.

Tidak banyak yang bisa kami bicarakan hingga kami memutuskan untuk mengakhiri panggilan telepon itu dengan canggung.

***

Aku tahu Amira pasti akan berdoa yang terbaik untuk hubungan kami. Apakah kami akan bersama nantinya, atau jodoh berakhir sampai di sini saja, Allah-lah yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk kami. Aku pun tak ingin kalah dari Amira. Kupanjatkan doa pada Sang Pemilik Hati berharap  kami senantiasa dikuatkan dan bersyukur dalam menghadapi apapun yang Allah tuliskan untuk kami di masa depan.

To be continued...

Monday, October 16, 2017

Niskala Rasa Ep. 4: Keyakinan

3

Kyuhyun - Still MV


Mungkin aku adalah manusia terbodoh di bumi ini, membiarkan diriku larut dalam kerinduan yang sengaja kuciptakan sendiri. Hampir sebulan aku menahan diri untuk berkomunikasi dengannya lagi dengan alasan ingin kembali meyakinkan diri. Lebih bodohnya, ketika keyakinan itu sudah mulai membulat, ku kikis ia hingga kembali persegi dengan berbagai persepsi yang penuh ragu akan diri sendiri.

Segitu takutnya aku kehilangan debaran itu, hingga saat ia sedang gila-gilanya aku terus menahannya. Tak kusadari bahwa semua itu hanya kesia-siaan yang makin menambah level debaran yang ku rasa dari sekedar gila menjadi liar. Kemudian berujung pada tangis yang berusaha ku redam di dalam kamar.

Kegundahan yang ku rasa mau tak mau mempengaruhi kerjaku di kantor. Aku banyak terdiam, kurang fokus, bahkan suatu hari, Pak Rahmat pimpinan di perusahaan menegurku karena mendapatiku sedang melamun.

"Hid, akhir-akhir ini kamu banyak gak fokusnya. Ada masalah?" Suara lembut nan tegas pak Rahmat baru terdengar jelas ketika ia menepuk pundakku.

"Ah... Tidak kok, pak. Mohon maafkan saya, Pak."

"Hid, namanya masa muda memang gitu. Banyak ragunya, banyak labilnya. Hari ini on fire, besok tiba-tiba down. Tapi sebenarnya ragu-ragu itu awal yang baik untuk menjadi dewasa asalkan cepat-cepat disikapi dengan keberanian untuk bertanggung jawab. Hari ini ragu gak apa-apa, artinya kamu masih memikirkan konsekuensi dari tindakan yang kamu lakukan. Tapi, ragunya jangan kelamaan. Pikirkan matang-matang, sikapi, hadapi. Itu baru anak muda." Pak Rahmat kembali menepuk pundakku seolah menyalurkan energi positifnya.

Dia berlalu dengan senyum misterius seakan-akan ia dapat membaca isi kepalaku tanpa perlu kukatakan padanya.  Semua yang dikatakannya benar, aku ragu karena aku takut. Aku takut suatu hari debaran itu hilang. Aku takut kami tak bisa bersama hingga maut memisahkan. Aku takut tak mencintainya lagi suatu hari nanti. Tapi untuk apa aku takut ketika aku memiliki begitu banyak cinta untuknya. Untuk apa aku takut ketika saking berharganya rasa ini, aku takut kehilangannya. Untuk apa aku takut, ketika aku bisa memupuk cinta untuknya setiap hari. Aku tak perlu takut.

Deru mesin pesawat kini menjadi soundtrack rasa rinduku yang sebentar lagi akan tunai. 45 menit jarak dari bandara Singai Nibandera ke Bandara Sultan Hasanuddin terasa amatlah lama.
Kuputuskan untuk memandangi awan beriring melalui jendela pesawat kegiatan yang amat kusukai setiap kali bepergian via udara. Perlahan aku mulai dirayapi rasa was-was membayangkan reaksi Amira saat kami bertemu nanti. Gadis itu pastilah amat marah dengan sikapku yang menghilang begitu saja kemudian muncul kembali secara tiba-tiba. Bagaimana jika ia menolak untuk sekedar bertemu denganku? Bagaimana jika kesempatan untukku sudah tidak ada lagi?

Hey, anak muda. Jangan dikuasai rasa ragumu. Mencobanya saja belum, sudah ciut duluan!

Itu bukan suara siapa-siapa. Itu suara dari dalam diriku sendiri yang sedang berperang melawan keraguanku. Perang yang akhirnya dimenangkan oleh kesiapanku menerima semua reaksi Amira nantinya. Entah dia akan memarahiku, menamparku, atau memalingkan pandangannya dariku untuk selamanya, aku sudah siap.

***

Gadis itu kini duduk di hadapanku, menyesap Lattenya dalam diam. Sesekali ia menyibukkan diri dengan ponselnya.

"Maafkan aku," kalimat itu terdengar bergetar keluar dari mulutku.

"Kakak gak salah apa-apa."

Ia kelihatan tenang, tapi aku tau kalimat itu bermakna aku telah melakukan kesalahan yang terlampau besar.

TO BE CONTINUED...