Saturday, June 10, 2017

Niskala Rasa Ep.1 : Pencarian

0


Inspired by a true story with some fiction in it


“Aku tak tahu apa yang kucari, hingga aku bertemu dengannya”

**

“Hid, kapan kamu mau ngenalin calon kamu ke ibu?” tanya ibu bukan pada suatu hari.

Pertanyaannya terdengar biasa namun lama-kelamaan ia terasa bagai bom waktu yang menerorku setiap detiknya. Bagaimana tidak, pertanyaan ini sudah diulang-ulangnya sejak berbulan-bulan lalu saat usiaku genap menginjak 25 tahun. Bukannya aku tak ingin memperkenalkan seseorang kepada ibu, hanya saja tidak ada seseorang yang bisa kuperkenalkan padanya. Ibu pun melirikku tak percaya setiap kali kalimat “belum punya calon” terlontar dari mulutku. Di benakku, untuk apa buru-buru menikah. Aku toh masih muda, masih ingin berekspresi dan mengejar mimpi sebebas-bebasnya. Lagipula aku belum mapan. Kasihan istriku nanti, kan?

“Hid, mapan itu bukanlah tolak ukur kapan kamu bisa menikah. Kamu kan sudah dewasa, sudah punya masa depan, ada baiknya niat baik itu jangan ditunda-tunda hanya karena kamu merasa belum mapan. Memangnya standar kemapanan kamu itu bagaimana sih, nak? Hati-hati sama target yang abstrak. Nanti kalo nggak nikah-nikah nyesel loh!" Ibu memulai ceramahnya lagi sambil berusaha memasukkan benang ke dalam jarum.

Aku sedikit banyak bisa mengerti perasaan ibu. Ia tidak ingin melihatku terlena mengejar karir nan tinggi hingga lupa bahwa aku membutuhkan seseorang untuk menyempurnakan agamaku dan menemaniku mengarungi bahtera kehidupan. Aku ingat betul kata-kata gombal bapak. “Ibumu itu adalah bintang utara saat bapak kehilangan arah di lautan bergelombang. Pokoknya kalo nggak ada ibu, bapak udah nyasar nggak jelas. Nikah itu ibadah loh. Dapat pahala, dapat partner dalam segala situasi.” 

Apa aku sebaiknya menikah saja menuruti keinginan mereka? Tapi dengan siapa? Aku berjalan menuju kamar dan meninggalkan ibu yang sudah sibuk dengan jahitannya. Takut beliau membahas lagi masalah pernikahan yang tak ada pangkal ujungnya.

*

“Ibu mau nggak nyariin calon buat Syahid?” kataku setelah seminggu lebih merenungkan perihal pernikahan.

“Apa?” Kata ibu memastikan pertanyaanku barusan disertai dengan mata setengah terbelalak dan mulut agak menganga pertanda beliau terkejut.

Benar yang dikatakan bapak dan ibu bahwa usiaku sudah matang untuk memulai kehidupan rumah tangga. Di sisi lain aku betul-betul tak memiliki seseorang pun untuk dijadikan pasangan. Meminta ibu untuk mencarikannya untukku sepertinya adalah pilihan yang tepat. Beliau tidak akan memilih dengan sembrono terlebih ini untuk putra bungsunya, bukan?

Selepas deklarasi permintaanku dicarikan pendamping, hari-hari ibu kian sibuk. Dengan semangat ia akan menanyai kenalannya satu per satu untuk memastikan, apakah mereka punya anak atau kolega yang bisa dijodohkan denganku. Selincah agen biro jodoh, ibu dengan cepat mendapatkan calon yang dianggapnya cocok untukku.

“Hid, Bu Rika punya anak gadis. Ibu lihat anaknya sopan dan cantik. Ibu dengar dia juga lagi cari pasangan. Kalo kamu mau, ibu bisa aturkan pertemuan sama keluarganya.” Kata ibu sepulangku dari kantor.

“Maksud ibu si Dewi? Syahid nggak mau, bu.” Tolakku tanpa basa-basi.

“Loh, kenapa? Kata bu Rika, si Dewi jago masak loh, nak.” Sambung ibu tak menyerah.

“Nggak ada alasan khusus sih, Bu. Hanya nggak mau aja.” Ucapku sambil berlalu tak ingin membahas hal teresebut lebih jauh.

Ibu tak menyerah sampai di situ, beberapa hari kemudian beliau memperkenalkanku dengan kemenakan pak RT, anak pak Lurah, anak Pak Arif, keluarga bu Sinta, hingga teman sekantorku. Masih dengan alasan yang sama, aku menolak semuanya. Aku juga tidak mengerti tapi aku belum mendapat seseorang yang menurutku sesuai.

Tak menyerah sampai di situ, di lain kesempatan, aku diperkenalkan dengan cucu pak Razak, Amanah. Kuakui, Amanah adalah gadis yang cantik parasnya, anggun penampilannya, dan ramah sikapnya. Bisa dibilang, dia adalah primadona desa yang dikagumi para pemuda. Namun lagi-lagi, aku tidak ingin meneruskan perkenalan itu lebih lanjut.

“Kamu tuh maunya yang kayak gimana toh, Nak? Yang kayak Raisa? Atau Isyana? Atau siapa? Masa iya dari sekian banyak perempuan yang ibu kenalin gak ada yang kamu mau sih?” tanya ibu sedikit frustasi.

“Maaf Bu. Aku juga gak ngerti kenapa gak ada yang sreg di hati Syahid.”

Apa niatku masih kurang kuat?

Sungguh, aku serius saat berkata ingin dicarikan seorang pendamping oleh ibuku. Aku juga tidak memiliki tipe khusus untuk itu. Lagipula, semua perempuan yang diperkenalkan ibu terbilang menawan parasnya. Tapi, aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang. Hatiku terasa hampa. Aku merasa kosong. Kekosongan yang masih belum bisa dimaknai oleh akalku dan hanya hatiku yang mampu memberikan jawaban atas apa yang dicarinya.

Sudah beberapa minggu ibu tidak membahas soal jodoh ataupun memperkenalkan seseorang kepadaku. Mungkin beliau sudah angkat tangan tentang masalah ini. Aku juga tidak mau mendesak ibu, toh selama ini aku yang selalu menolak calon yang ibu tawarkan.

Aku sedang menyesap kopi favorit ku saat ibu pulang dari arisan dengan wajah sumringah. Ibu memang mengikuti arisan dengan para warga rantauan asal Jeneponto, kampung halaman ibu. Apa arisan ibu naik ya? Tanyaku dalam hati.

“Hid, lebaran nanti kita harus balik ke Jeneponto.” Ucap ibu tanpa ba bi bu.

“Ibu Rani, teman arisan ibu ternyata punya ponakan di Jeneponto. Katanya dia Guru dan sekarang lagi S2. Kamu jangan nolak dulu. Pokoknya kita langsung ke rumahnya lebaran nanti.” Ibu menepuk pundakku lalu berlalu tanpa mengizinkanku mengucap sepatah kata pun.

“Ternyata ibuku belum menyerah,” aku tersenyum lega menantap punggung ibu yang menghilang di balik gorden kamarnya.

**

Gadis itu berdiri dengan wajah tersipu. Ditangannya sebuah nampan berisi 4 gelas sirup leci. Ia dengan hati-hati mengaturnya di atas meja. Aku sesekali mencuri pandang ke arahnya dan jackpot aku mendapatinya sedang tersenyum ke arah ibuku. Ada debaran indah di dalam sana. Debaran yang memberiku rasa bahagia namun tak mampu kunamai.


To be continued..

0 comments:

Post a Comment