Dialah Amira, gadis yang tengah duduk tersipu di samping ibunya. Entah ada magnet apa yang menarik pandanganku, hingga aku rela berkali-kali mencuri pandang ke arahnya. Namun kecewa akhirnya, karena gadis itu tak sekalipun melihat ke arahku.
Apa aku objek yang tak kasat mata di hadapannya?
Ataukah dia tak menginginkan perjodohan ini?
Untuk pertama kalinya dalam misi ibu mencarikanku pendamping hidup, aku merasa takut untuk ditolak.
“Nak Amira, gimana S2nya?” suara ibu membuyarkan lamunanku.
“Sudah tahap penyusunan thesis, tante. InsyaaAllah kalau lancar, tahun ini bisa selesai.” Jawab gadis itu bersemangat.
“Kalo Syahid gimana?” Kini giliran ibunya yang bertanya. “Kerja di pertambangan seru gak?”
“Alhamdulillah tante. Banyak tantanganya sih. Tapi saya enjoy dan semuanya lancar.”
Begitulah perbincangan keluarga ini mengalir. Orang tua kami dengan akrab membahas apa saja yang bisa mereka bahas. Sedangkan kami, hanya duduk bak anak manis dan sesekali menjawab saat ditanya. Akhir dari pertemuan ini adalah kesepakatan mengenai perjodohan yang akan dibicarakan lebih lanjut nanti. Aku dan Amira, lebih tepatnya orang tua kami, memberi waktu untuk saling mengenal terlebih dahulu.
Jauh-jauh ke Jeneponto dari Kolaka dalam rangka melaksanakan misi ibu setidaknya tidak sia-sia. Ibu merasa bahagia dan aku pun tak ingin menolak untuk mengenal gadis itu lebih jauh. Entahlah. Semua terasa menyenangkan, kecuali kenyataan bahwa ia tak sedikit pun melihat ke arahku selama 3 jam aku berada di rumahnya. Tapi aku merasa ada sesuatu yang membahagiakan di dalam sana. Aku merasa lengkap tanpa tau apa penyebabnya. Bibirku melengkungkan senyum, menatap layar ponsel yang bertuliskan nomor gadis itu. Apa dia juga bahagia? Aku membatin.
*
“Hid, cemberut aja sih. Itu hape salah apa memangnya sampai dicemberutin?” kata bapak tiba-tiba duduk di sampingku, menyetel TV dan menonton pertandingan bola PSM vs Persib.
Bagaimana tidak kesal, sudah satu jam sejak ucapan salam itu kukirimkan melalui whatsapp tapi gadis itu belum juga membalasnya. Apa dia akan mengacuhkanku seperti ini? Menolakku tanpa sepatah kata pun? Sekacau inikah perasaan para gadis yang kutolak dulu? Aku tau karma itu ada, tapi aku tak menyangka akan menerimanya secepat ini.
“Pak, menurut bapak cewek itu rumit gak, sih?”
“Cewek itu sebenarnya sederhana. Bapak analogikan seperti bola.”
“Maksud bapak musti dikejar terus ditendang?”
Jari-jari bapak yang dihiasi batu akik sukses mendarat di kepalaku.
“Dengar dulu kalo orang tuanya ngomong. Hati wanita itu bagaikan gawang yang dijaga oleh kiper. Ia akan terus-menerus menjaga pertahanannya. Lalu apa yang harus dilakukan untuk bisa meruntuhkan pertahanan itu? Usaha. Ciptakan peluang. Jangan berhenti hanya karena dihalau sekali dua. Hati wanita itu tidaklah serumit yang kita pikirkan. Mereka hanya ingin melihat usaha kita. Seberapa besar kita memperjuangkan mereka. Dan Gooooolllllll.”
Nasihat bapak diakhiri dengan teriakan panjang yang membuatku terkaget. Ferdinand Sinaga baru saja menjebol pertahanan Persib Bandung setelah berkali-kali ia mencoba.
Bersamaan dengan uforia kemenangan PSM, ponselku bergetar menandakan satu pesan masuk.
Wa'alaikumussalam
Aku spontan berdiri dan menari bahagia, menemani bapak yang juga sedang merayakan kemenangan PSM. Tak ingin menyia-nyiakan momentum, buru-buru kuketik pesan balasan.
Satu jam kembali berlalu, dan lihatlah betapa gadis itu sudah mempermainkan emosiku sedemikian rupa. Setelah senyumku terkembang karena salamku dijawab olehnya, kini aku kembali dibuat menanti dengan kesal hanya untuk mengetahui apa yang sedang dilakukannya saat ini. Apa dia sesibuk itu? Atau dia sedang menjalankan misi “hard to get” agar aku penasaran? Apapun misinya, dia telah berhasil membuatku sekacau ini. Tapi Ferdinand takkan mampu mencetak gol jika ia menyerah, bukan?
**
Tak terasa, sudah sebulan aku dan Amira saling berbalas pesan via whatsapp. Benar kata bapak. Pertahanan Amira perlahan-lahan mulai melonggar. Dulunya, ia hanya menjawab pertanyaanku dengan singkat. Sekarang, jawaban itu sudah disertai dengan beberapa keterangan pendukung. Bahkan, kini ia mulai mengirimiku pesan terlebih dahulu.
Pernah suatu hari, aku amat sibuk dengan pekerjaan di kantor sampai-sampai tak sempat untuk sekedar memegang ponselku. Kebiasaanku untuk mengirimi Amira pesan pun tak kulaksanakan hari itu. Sesampainya di rumah, aku melihat ada dua pesan yang dikirimkan olehnya. Agak terdengar berlebihan, tapi rasa lelahku rasanya menguap begitu saja. Sepertinya gadis itu merindukanku. Tidak, dia pasti merindukanku.
Segera kutekan tombol telpon pada layar ponselku. Tak disangka, ia menjawab telponnya sebelum nada sambung sempat terdengar. Untuk pertama kalinya, aku dan Amira mengobrol sebanyak itu. Di titik ini, Amira adalah definisi bahagia menurut versiku.
To be continued..
0 comments:
Post a Comment