Friday, January 20, 2017

Menjadi Dewasa

0

Kita pernah berada dalam tahap mengira bahwa peri kecil sejenis Tinkerbell benar-benar nyata. Juga, peri ibu Cinderella akan benar-benar muncul saat air mata kita menetes di atas snowball kesayangan. Ia siap merubahkan tikus-tikus penghuni rumah menjadi boneka Pikachu yang kita inginkan. Lebih imajinatif lagi, kita berfikir bahwa memiliki pensil ajaib Sanju adalah cita-cita terbesar dalam hidup. Kita bisa menggambar game konsol idaman, karet gelang sebanyak yang kita mau, atau apa saja yang sedang hits bagi anak seusia kita.

Memiliki imajinasi semenarik itu tentu membuat bahagia. Segalanya terlihat mudah. Gampang. Namun sebenarnya kita memang memiliki dua malaikat tak bersayap yang berusaha sekuat tenaga mereka agar apa yang dimiliki anak lain bisa juga kita miliki.

Waktu berlari cepat. Ah,bukan. Ia tak berlari, ia hanya berjalan tanpa henti dan tanpa menengok ke belakang. Keinginan ternyata berbanding lurus dengan pertambahan usia. Di usia yang makin bertambah, keinginan kini tidak sesimpel mengharapkan boneka Pikachu lagi. Ada keinginan yang lebih besar dan berpotensi tak terpenuhi. Selain itu, harapan orang tua menjadi salah satu tolak ukur langkah dalam memenuhi keinginan itu. Bukan sepenuhnya menuruti apa yang mereka inginkan, tetapi jangan sampai membuat mereka kecewa. Kadang mereka menentang untuk kebaikan, kadang pula kita tak setuju dan ingin membangkang.

Muncullah tahap yang perlu diwaspadai. Tahap saat kita menyesali ketidakmampuan kita. Tahap saat kita ingin menjadi orang lain. Saat tahap ini merajai diri, bukan hanya diri sendiri yang tersakiti, mungkin orang lain, mungkin malaikat tak bersayap yang selalu mendampingi kita. Mungkin mereka akan menitikan air mata dalam diam.

Lalu ada tahap dimana kita menyadari bahwa dongeng terlalu fiksi untuk kita percayai. Menyesali diri dan orang lain adalah hal terbodoh yang kita lakukan. Air mata orang tua kita terlalu berharga hanya untuk menangisi keegoisan anaknya. Kemudian kita menjadi ikhlas bahwa keinginan tidak harus menjadi nyata. Mungkin ia menjadi pelajaran, mungkin ia menjadi pengalaman, mungkin ia menjadi keberhasilan yang tertunda hingga kita siap.

Di situlah tahap kita menjadi dewasa, saat kita bisa menerima bahwa sesuatu terjadi bukan tanpa sebab dan kita selalu bisa memetik hikmah darinya.

0 comments:

Post a Comment