Monday, September 22, 2014

Time

0

Sungguh masa adalah sesuatu yang misterius. Aku suka hal yang misterius, tapi misteri masa bukanlah sesuatu yang kusukai. Masa.. Masa.. Dipikirnya ia bergerak lamban, tapi terasa cepat ketika menjalaninya. Seberapa misteriusnya masa? Semenit menunggu terasa lama. Sejam nonton film kesukaan, terasa cepat. Apakah masa mempermainkan kita? Bergerak sekehendak hatinya sesuai apa yang kita suka dan tidak suka. Atau, hal yang kita lakukanlah yang mensugesti pikiran hingga merasa masa bergerak tidak konstan? Masa.. Masa.. Segalanya berubah seiringmu. Kulit mengkerut. Rambut memutih. Cinta memudar atau semakin kuat. Masa.. Masih tentangmu yang tak bisa diputarbalik. Masih tentangmu yang bisa mengubah segalanya. Masih tentangmu dan misterimu. Aku tampak bodoh ingin menyingkap semua. Kusadari, kau akan tetap jadi misteri.

Monday, August 25, 2014

Pluto & Jupiter

0


Tahukah kau mengapa Pluto dihilangkan dari 9 planet di tata surya? Karena ia terlalu kecil untuk dikategorikan sebagai sebuah planet. Yah. Begitulah jawaban yang akan diberikan para ilmuwan atau guru-guru di sekolah saat pelajaran tata surya. Tapi tahukah kau bahwa dibaliknya, ada kisah cinta sedih sang Pluto yang malang.
Pluto dulunya adalah sebuah planet di tata surya. Meskipun ukurannya kecil dibanding ke 8 planet lainnya, Pluto tetaplah sebuah planet yang hebat. Pluto sebenarnya telah lama iri pada Saturnus, planet indah bercincin yang berjarak 2 orbit darinya. Ia juga ingin memiliki cincin seperti planet itu. Saturnus terlihat begitu anggun dengan cincin yang mengikatnya. Entah planet mana yang telah berhasil mengikat Saturnus dengan cincin itu. Pluto pun ingin merasakan hal yang sama. Mencintai, dicintai, kemudian diikat dalam hubungan cinta yang indah, tentu saja dengan cincin sebagai simbolisnya.
Sebenarnya Pluto menyukai Jupiter. Ia begitu kagum dengan planet itu. Jupiter tampak gagah dan berwibawa. Ia sosok yang perhatian dan mengayomi. Cocoklah dengan imej-nya sebagai planet terbesar. Pluto yang kecil hanya menatap Jupiter dari orbitnya. Mengagumi dari jauh. Menyapa dari jauh. Mencintai dari jauh. Tapi jarak ternyata menciptakan rindu yang mendalam. Apalagi, dengan orbit berbeda yang di antarai Saturnus, Neptunus dan Uranus, ia tidak bisa terus-terusan berevolusi beriringan dengan Jupiter.
Karena rindunya yang terasa mencekik, Pluto nekat keluar dari orbitnya. Perlahan mendekati Jupiter. Di sana ia melihat Saturnus tengah bercanda mesra dengan Jupiter. Maka, patahlah hati sang Pluto. Dari dekat ia bisa melihat cincin tipis yang melingkari Jupiter. Sangat tipis hingga sulit untuk melihatnya dari kejauhan.
Tahulah pluto bahwa Jupiter dan Saturnus telah terikat dalam jalinan cinta. Jalinan cinta yang tak terlihat oleh pluto dari orbitnya yang jauh. Pluto perlahan mundur, kembali ke tempat semestinya ia berada. Ia dirundung sedih hingga perlahan tubuh kecilnya makin ringkih. Ia sudah tidak merawat dirinya lagi. Ia pun dihapus dari daftar planet di tata surya karena kini ia tak lagi memenuhi syarat sebagai planet. Hilang sudah Pluto yang hebat. Lenyap sudah Pluto yang malang. Tapi apa kau tahu? Pluto masih ada di sana. Pluto tetap berada di tata surya. Ia tak pernah pergi. Ia memilih menyaksikan cintanya yang bahagia dalam diam, dalam sepi, dalam air mata yang tak pernah mengering.

You

0

"Hujan? Apa yang kau sukai darinya?"
"Petrikor." jawabku singkat. Kau tampak bingung.
"Bukan hujan, tapi aroma tanah yang basah."
Kau mengangguk, tapi matamu masih penuh tanya. Mengharap jawaban lebih.
"Aroma itu selalu membawaku pada masa lalu yang menyenangkan. Masa lalu yang kurindukan. Begitulah petrikor selalu membuatku tenang." 
Kini mata penuh tanyamu menggugat "Masa lalu yang menyenangkan tetaplah masa lalu. Bukankah lebih baik mempersiapkan masa depan yang lebih menyenangkan lagi?" 
Aku mengangguk "Kau benar. Tapi biarkan aku mengabadikan kenanganku. Setidaknya, aku memiliki satu alasan lagi untuk tersenyum." 
Aku menatapmu lamat lalu tersenyum.
"Sebenarnya, kau lebih menenangkan daripada petrikor." Tentu kalimat ini hanya terucap dalam hati.

Waiting

0

Ia menanti.
Terus menerus menanti.
Di kursi yang sama, di tempat yang sama.
Walau kini tak ada lagi rinai hujan itu.
Tak ada lagi aroma petrikor yang ia sukai, tapi ia tetap menanti.
Lihatlah.
Semua orang menantapnya iba.
Tatapan yang paling ia benci.
Begitu menyedihkankah ia?
Apa yang salah?
Ia hanya menanti.
Ia hanya nenunggu kenangan indahnya terulang kembali.
Ia hanya...masih berharap.
Tak peduli seberapa menyedihkan, nyatanya ia masih duduk di sana.
Menanti siluet impiannya muncul di ronanya cahaya senja.
Ia masih menanti.
Terus menerus menanti.

Better

0

Jika ada yang tak ingin lepas dari masa lalu, ada pula yang berusaha keras melupakan. Begitulah ia setiap harinya menjalani rutinitas sebanyak mungkin agar kenangan masa lalunya tidak memaksa untuk memenuhi ruang memorinya. Sesekali orang-orang menatap malang padanya yang berusaha lepas dari masa lalu, menyuruhnya menyerah untuk lupa. Tapi menyerah bukan gayanya. Melupakan bukan intinya. Toh, ia hanya berusaha untuk hidup lebih bahagia. Bahagia tanpa cintanya yang mulai menyakitkan. Ah... Bukan... Bukan... Bukan cintanya yang menyakitkan, tapi kenangannya yang tak bisa kembali terulang.

Wednesday, August 13, 2014

Polaris

0

Arus nan deras menerjang. Kapalku oleng terseok gelombang. Aku nahkoda yang tersesat tak tahu arah. Gelombang itu mengajakku berkelana tak pasti. Berkelana menemui keputusasaan yang telah menanti dengan senyum liciknya. Ia kini merentangkan tangannya, bersiap memelukku dalam kelamnya. Namun cahaya kecil perlahan mengintip di balik awan hitam. Polaris sang bintang utara muncul bagai pahlawan, menyelamatkanku dari keputusasaan, menyelamatkanku dari ketidakpastian. Dalam diam ia menunjuk arah yang tepat. Dalam kerlip kecilnya ia menorehkan harapan. Begitulah polaris. Begitulah dirimu. Begitulah kehadiranmu mampu kugambarkan. Seperti polaris sang bintang utara.

Tuesday, August 12, 2014

Past

0

Ditatapnya punggung yang semakin menjauh itu. Menangis? Tentu tidak. Toh ia sudah terbiasa sakit. Tapi saat hatinya yang cedera, sekuat apa ia mampu menahan sakitnya? Tertunduk lesu, ia bertanya pada diri sendiri. Siapa yang harus ia salahkan? Pikirannya kini mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan itu. Siapa? Siapa? Bukan siapa-siapa tentu saja. Ia tak bisa menyalahkan siapapun. Karena sakit ini, ia yang menginginkannya, ialah penyebabnya. Benar.. Ia yang terus menarik kenangan itu ke dalam pikirannya lagi. Ia yang saat ini masih terus berharap hal yang tidak mungkin terulang lagi. Ia yang tak ingin lepas dari masa lalu.

Monday, August 11, 2014

Luka

0

Setajam apa butiran hujan yang menghujam bumi? Ataukah memang masih ada luka memerah yang belum kering di dalam sana?
Pun saat hujan mereda, luka itu masih basah. Menanti semilir angin menenangkannya. Menanti waktu menyembuhkannya. Menanti ia kering dengan sendirinya.

This Blog is about....

0

Blog ini dibuat karena inspirasi dari seorang Fahd Djibran. Jangan heran jika isinya hanya berupa prosa-prosa pendek. Hobi saya memang menulis prosa. Saya hanya ingin berbagi sekeping kisah yang tiba-tiba terlintas begitu saja saat saya sedang menonton drama, atau saat saya tengah menyaksikan lika-liku romansa orang-orang di sekeliling saya, atau mungkin bisa jadi suatu saat nanti, saya akan meramu kisah saya sendiri. Entahlah. Selamat membaca :)