Monday, December 31, 2018

Tuesday, July 24, 2018

Untuk Diriku yang Sedang Gelisah

0




Kecemasan.
Kegelisahan.
Aku sudah merasakannya sejak duduk di bangku kuliah. Ada masa di mana aku merasa takut untuk melangkah. Perasaan itu memuncak ketika aku lulus Perguruan Tinggi. Aku takut menjalani kehidupan yang sebenarnya, Aku takut salah langkah. Aku takut keputusanku tidak cukup bijak sehingga mengecewakan orang-orang yang percaya padaku.

Kegelisahan itu justru mengikat kaki dan tanganku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku minder. Aku tidak percaya diri. Aku kurang baik bersosialisasi. Aku selalu ragu karena berpikir terlalu jauh. Aku memikirkan hal-hal yang belum pasti terjadi. Aku takut pada sesuatu yang abstrak seperti itu. Menyedihkan sekali, bukan? Aku merasa tidak memiliki daya. Orang terlemah, dialah aku.

Keadaanku dipersulit oleh mulutku yang terkunci, hatiku yang tidak ingin berbagi kesedihan, mataku yang gengsi mengucurkan air mata. Aku membutuhkan orang lain, aku tahu. Tetapi, aku merasa bahwa orang lainpun memiliki beban yang mereka pikul. Aku tak ingin memperparahnya dengan bebanku. Di sisi lain, aku juga tak ingin menunjukkan sisi lemahku.

Di saat sulit seperti itu, aku memeluk diri sendiri sambil berkata bahwa semua akan baik-baik saja, semua pasti berlalu dan aku bisa menghadapinya. Aku akan menangis tanpa suara lalu kembali menata pikiranku yang kalut. Cara itu selalu berhasil menenangkanku untuk sementara.

Lee Seung Gi (aktor Korea Selatan) berbicara mengenai kegelisahannya dalam sebuah acara ragam. Seseorang berkata kepadanya bahwa kegelisahan menunjukkan bahwa kita sudah dewasa. Bukan berarti kita akan mendiamkannya begitu saja. Hal yang bisa kita lakukan adalah untuk lebih berani mengambil langkah pertama. Di saat kita melangkah, kegelisahan itu akan menghilang perlahan.

Aku tersentuh oleh kalimat itu. Tak kusadari air mataku menetes perlahan. Ada nyeri di dalam sana juga semangat baru yang harusnya bisa kujaga agar tetap berkobar. Aku mengingat, aku pernah menuliskan hal semacam itu dalam satu cerpenku,


Aku pernah memiliki pemikiran seperti itu, namun kekuatannya hanya sebatas kata-kata seorang amatir dengan energi yang lemah. (Aku menertawai diri sendiri. Bagaimana aku bisa menyentuh hati pembacaku saat aku sendiri tak tersentuh oleh kalimat yang kutuliskan?). Sembari menulis ini, aku berusaha menyalurkan segenap perasaanku di dalamnya. 

Kembali pada kegelisahan, segala ketakutan dan keraguanku selama ini pastinya tak beralasan. Jika aku berpikir dengan jernih, membayangkan diriku hanya berjalan di tempat yang sama adalah hal yang paling mengerikan. Aku terkungkung oleh kecemasan, energiku terkuras olehnya, dan aku tidak mendapatkan apa-apa. Jujur itu lebih menakutkan dibandingkan tantangan yang akan kutemui saat melangkah. Mungkin di depan sana aku akan menemui terowongan panjang nan gelap namun aku bisa membawa senter untuk berjaga-jaga. Mungkin di depan sana akan ada onak dan duri namun aku bisa memakai sepatu terbaikku agar aku tidak terluka, aku bisa menyingkirkan duri itu perlahan dengan tanganku, atau aku bisa berjinjit agar aku tak menginjaknya. Saat aku melangkah, akan ada banyak rintangan yang menghadangku tapi aku juga memiliki banyak pilihan untuk mengatasinya, bukan?

Jadi, diriku yang sedang gelisah, aku percaya bahwa kau memiliki kekuatanmu untuk berjalan. Kau memiliki akalmu untuk berpikir. Kau memiliki hatimu untuk merasa. Kau memiliki keluarga dan teman untuk berbagi. Juga Tuhan yang senantiasa menyertaimu.
Jangan takut!
Melangkahlah dengan percaya diri!

Saturday, March 24, 2018

Sang Pemanah

0



Di suatu desa, hiduplah seorang pemanah ulung. Orang-orang mengatakan ia dan panah adalah jodoh dari surga. Begitulah, bakatnya muncul sejak kecil dan tanpa usaha yang berarti ia mampu menaklukkan sasaran-sasaran yang ada di depannya. Ia adalah pemanah terhebat di antara teman sebayanya.

Suatu hari sang pemanah memutuskan untuk berburu di hutan. Ia melihat rusa dan memutuskan untuk menjadikannya target sasaran. Ia pun mengarahkan busurnya dan melepas anak panah dengan yakin. Angin bertiup kencang, membuat anak panah tersebut meleset. Untuk pertama kali dalam hidupnya si pemanah merasakan kegagalan.

Keesokan harinya, ia kembali berburu. Lagi, dilihatnya seekor rusa di balik semak belukar. Ia mengarahkan busurnya. Namun naas, busurnya rusak sebelum ia sempat melepas anak panahnya.
Di hari berikutnya, si pemanah kembali gagal membawa pulang seekor rusa. Lagi-lagi serangannya meleset.

“Ada apa denganmu?” tanya teman sang pemanah

“Aku kurang beruntung akhir-akhir ini. Angin meniup anak panahku ke arah yang salah, Busurku rusak, dan hari ini suasana hatiku tidak terlalu baik untuk memanah.” Jawab sang pemanah.

“Aku dan panah adalah jodoh dari surga. Tapi sepertinya ia mengkhianatiku akhir-akhir ini.” Ucapnya lagi.

**

Dalam hati sang Panah membatin…

Andai aku bisa berbicara, akan kuberitahu kau. Aku tak pernah berkhianat. Kaulah yang meninggalkanku di kala orang-orang memuji kehebatanmu. Kau jarang berlatih memanah karena kau merasa memiliki bakat alami sejak dilahirkan. Mengapa kau memanah tanpa memperhitungkan arah angin? Mengapa kau tidak membawa busur cadangan? Mengapa kau menyalahkan kondisi hatimu saat gagal mendapatkan yang kau inginkan? Mengapa kau tidak berusah lebih keras? Mengapa kau terkungkung pada alasan-alasan yang sengaja kau buat untuk menghibur dirimu sendiri? 

Benar... 
Semua hanyalah alasan yang kau buat untuk mempertahankan keangkuhanmu.

Andai aku bisa berbicara, akan kuberitahu padamu bahwa bakat tanpa usaha adalah kesia-siaan belaka. Aku tak pernah mengkhianatimu. Aku hanya ingin kau melebihkan usahamu.