Title: The Man
Who Laughs
Author: Victor
Hugo
Pages: 672
pages
Genre:
Historical Fiction
Jadi, di akhir tahun 2019, saya membaca sebuah novel
bersetting kerajaan Inggris dan Perancis karya penulis Victor Hugo. Keinginan
membaca novel ini muncul saat Kyuhyun diumumkan bergabung dalam musikal yang berjudul sama. Membaca sinopsisnya yang menarik, saya mencoba mencari bukunya
di beberapa situs buku online. Hasilnya? Nihil. Sempat putus asa, akhirnya saya
menemukan e-booknya. Butuh 18 hari untuk menuntaskan buku ini dengan resiko
mata berair karena membaca menggunakan gadget. But, it’s okay. The story will not disappoint you.
Jadi tentang apa
sih “The Man Who Laughs” ini?
Tokoh utama dalam buku ini adalah Gwynplaine. Di umur
10 tahun, Gwynplaine kecil dibuang oleh sekelompok pelaut tempatnya bekerja.
Gwynplaine sendiri tidak mengetahui mengapa dia bisa bekerja di sana dan alasan
mereka membuangnya. Gwynplaine kecil ditinggalkan di sebuah daerah tanpa
penghuni pada malam musim dingin yang sangat gelap. Ia berjalan tanpa alas kaki
dan dengan pakaian kurang layak yang menempel di badannya. Dalam perjalanannya
yang tak tentu arah, Gwynplaine menemukan mayat seorang wanita yang meninggal
karena hipotermia. Tak disangka, wanita tersebut sedang memeluk bayi
perempuannya. Gwynplaine kecil yang baik hati menyelamatkan bayi tersebut dan
membawanya ke tempat yang ia pun tak tahu akan ke mana. Perjalanan panjang dan
melelahkan itu berakhir ketika Gwynplaine bertemu dengan seorang filosofer
dan mountebank bernama Ursus. Ursus
yang hanya tinggal bersama serigalanya, Homo, menolong dan membesarkan kedua
anak itu. Saat itu Ursus menyadari bahwa anak laki-laki yang ditolongnya nampak tertawa dan bayi perempuan yang dibawanya buta. Apakah anak laki-laki itu tertawa karena bahagia? Tidak. Ia tidak tertawa. Gwynplaine pun tidak mengerti mengapa ia memiliki bekas luka yang memberikan garis tawa di mulutnya.
Buku ini menceritakan bagaimana Gwynplaine yang telah
dewasa mengkritik pemerintah melalui penampilannya sebagai mountebank bersama Ursus dan Dea (bayi yang ditolongnya dulu). Wajahnya
yang selalu nampak tertawa menjadi salah satu daya tarik Gwynplaine sehingga
banyak yang datang untuk menyaksikan penampilannya, dari kalangan bawah hingga
bangsawan. Untuk menghindari spoiler, saya tidak akan menceritakan dengan
lengkap. Ada satu hal yang membuat Gwynplaine akhirnya mengetahui asal-asulnya
dan mengapa wajahnya berbeda. Pada titik itu, hidup Gwynplaine berubah 180
derajat. Apakah Gwynplaine bahagia seperti wajahnya yang selalu nampak tertawa?
Siapa Gwynplaine sebenarnya? Silahkan baca bukunya.
How I feel?
Saat membaca buku ini, perasaan saya bercampur-aduk. Ada
kalanya saya sedih, lalu bahagia, merasa hangat, merasa sepi, tapi di saat
bersamaan saya merasa sangat kagum dengan penulisnya. Banyak kritik sosial yang
terkandung dalam buku ini yang tentu sangat relevan pada masa itu. Hebatnya,
hal itu masih sering kita temui di masa sekarang.
Di awal buku saya merasakan penderitaan Gwynplaine
yang terlantar di tengah musim dingin. Di pertengahan, saya merasakan semangat seorang
pemuda yang membara. Hampir menuju akhir, saya merasakan kesedihan saat
ditinggalkan orang yang kita sayangi. Di bagian akhir, saya merasakan amarah rakyat
jelata yang tertindas oleh peraturan yang dibuat hanya untuk kepentingan para
bangsawan.
Jujur, setiap kali tokoh Gwynplaine mengemukakan
pemikirannya kepada para bangsawan yang semena-mena, saya merinding. Kalimat yang
disusun oleh penulisnya sangat powerful
namun tersirat keputusasaan. Kalimat tersebut sampai sekarang masih terngiang-ngiang
di pikiran saya saking berpengaruhnya, terutama di bab-bab terakhir novel ini.
Highlight?
Ada beberapa part yang sangat menancap di hati saya.
- Di bagian pertama novel ini menggambarkan bagaimana Gwynplaine mendaki sebuah tebing yang terjal, mencapai puncak, dan mendapati penurunan. Hal ini lalu dibahas kembali di akhir buku dengan deskripsi yang sama tetapi dalam konteks yang berbeda.
- Bagian terindah dari buku ini adalah bagaimana dua tokoh utama Gwynplaine dan Dea saling mencintai dalam kekurangan masing-masing. Dea yang buta tidak memedulikan wajah Gwynplaine yang dianggap seperti monster oleh orang lain yang bisa melihat. Begitu pun dengan Gwynplaine yang selalu menganggap Dea sebagai bidadari cantik yang menyayanginya dengan tulus.
- Ursus, penolong Gwynplaine adalah sosok seorang ayah sejati. Sosok ayah yang terus berusaha terlihat kuat dan tegas meski di dalam hatinya ia menyimpan kesedihan. Ada part di mana Ursus yang sedih rela melakukan segala cara agar Dea (yang tidak bisa melihat) merasa bahwa semua masih normal dan baik-baik saja.
- Part lain yang membuat saya meringis adalah ketika Gwynplaine ditertawakan oleh para bangsawan ketika ia menyuarakan pendapatnya. Dia ditertawakan karena wajahnya. Lalu apa yang dikatakan Gwynplaine saat dirinya dihina dan direndahkan? "Saya adalah pria yang tertawa. Menertawakan apa? Menertawakan keserakahanmu dan kemiskinanku. Tawaku berarti tangisku.
- Apakah kebahagian yang sejati berasal dari materi? "I got a house, but I lost my home." Begitulah jawaban Gwynplaine atas pertanyaan ini.
Di awal buku, pembaca mungkin akan dibuat bosan dan
bingung dengan banyaknya nama-nama tokoh bangsawan yang disebutkan serta
kebijakan-kebijakan yang berlaku di Inggris dan di negara Eropa lain. Saya
sendiri bertanya-tanya kenapa nama-nama dan kebijakan ini harus dijabarkan
panjang lebar. Tapi, semuanya akan terjawab di akhir buku.
Well, ini bukan review buku. Ini hanyalah catatan
perasaan saya ketika membaca novel tersebut. Ternyata, menuangkannya melalui
tulisan ini rasanya menyenangkan juga daripada harus dipendam sendirian. Semoga
ke depannya saya bisa membaca lebih banyak buku yang menarik dan bisa
menuliskannya di sini. See you in the
next Nit’s Notes!
0 comments:
Post a Comment