Jika aku harus memilih satu Bahasa yang kusukai, aku
akan memilih diam. Namun diam takkan pernah membuat orang mengerti.
Aku iri melihat teman-temanku yang bebas berekspresi.
Mereka jago berdiskusi. Mereka pandai berbicara. Berbeda denganku yang akan
terserang gugup ketika harus berbicara di depan umum. Lidahku mendadak kelu,
tak mampu memproduksi kata dengan tepat, dan sama halnya dengan diam, kata yang
kuucapkan takkan membuat orang mengerti.
“Nak, kamu terlalu takut salah.” Kata ayahku pada
suatu hari.
Aku tidak tahu mengapa beliau tiba-tiba berkata seperti itu. Mungkin
ayah lelah melihatku latihan presentasi berkali-kali dan mondar-mandir di ruang
keluarga dengan gelisah. Aku menurut untuk duduk di sampingnya, melihatnya yang
sedang asik bereksperimen dengan mesin-mesin dan berbagai benda favoritnya.
“Ayah tak pernah menuntutmu untuk sempurna. Pergilah
bermain bersama temanmu sekali-kali. Belajar terus-menerus juga tidak terlalu
baik.” Ayah berkata lembut. Membuatku tersentuh dan ingin menangis.
Aku takut salah. Ucapan ayah tidak meleset sama
sekali. Selama ini aku hidup bersama suara-suara kekecewaan yang terus
terdengar di kepalaku. Suara-suara yang kerap mengataiku bodoh. Suara-suara yang
membuatku ragu untuk mengungkapkan perasaan dan pendapatku. Suara-suara yang
menghilangkan kepercayaan diriku.
Aku juga kecewa dan merasa kehilangan diriku sendiri.
Dulu, aku pernah menjadi sosok yang percaya diri. Aku bisa menyanyi dengan baik
di hadapan banyak orang yang tidak kukenal tanpa merasa malu. Dulu aku bisa bebas bertanya saat aku merasa penasaran. Dulu aku bebas berpendapat saat melihat sesuatu yang menurutku tidak sesuai. Itu dulu. Saat
aku belum bersekolah. Saat aku masih terlalu kecil bahkan untuk mengingat
kenangan itu dengan jelas.
Apa aku membenci diriku yang sekarang? Iya. Aku
membenci diriku yang tidak percaya diri. Aku membenci diriku yang terkekang karena suara-suara abstrak itu. Tapi, rasa cintaku terhadap diri sendiri
masih jauh lebih besar. Karenanya aku masih berusaha. Karenanya aku belajar lebih
giat meski menurut ayah belajarku sudah berada di taraf yang berlebihan. Tak apa aku berlatih presentasi berkali-kali. Tak apa aku mencari ratusan referensi untuk membuatku percaya terhadap diriku sendiri. Itu adalah jalan yang kupilih untuk bisa menyangkal suara-suara yang menghakimiku bodoh.
Malam ini aku menuruti keinginan ayah untuk tidak
belajar. Aku menonton pentas musik bersama teman-temanku. Perkataan ayah tadi
sedikit membuat suara-suara kekecawaan itu berkurang meski tak hilang
sepenuhnya.
-tbc-
0 comments:
Post a Comment