Wednesday, October 18, 2017

Niskala Rasa Ep. 5: Penolakan

0

Kyuhyun - Million Pieces MV


"Izinkan aku berfikir, kak. Sepulang umroh, aku akan memberi jawaban pada kakak."

Itulah jawaban Amira saat aku bertanya perihal kelanjutan hubungan kami. Tentu. Aku akan memberinya waktu. Tidak mungkin aku mendesak gadis itu setelah apa yang telah kuperbuat padanya. Aku sudah amat sangat beruntung karena ia bersedia menemuiku, bukan?

Dua hari kemudian, aku memutuskan untuk mengantar Amira dan keluarganya ke bandara. Itu bukanlah apa-apa, tapi setidaknya aku ingin berbuat sesuatu sebelum ia pergi. Ibu dan kakakku juga menujukkan dukungannya dengan menyusulku ke Makassar. Mereka juga ingin mengantarkan Amira dan keluarga.

Kini aku telah berada di mobil Kak Luthfi, kakak Amira. Bukan Cuma berdua, ibuku dan Amira pun berada di mobil yang sama. Kak Luthfi memegang kemudi. Sorot matanya yang tajam dapat kulihat melalui spion depan. Sorot mata itu tidak terlihat ramah, membuatku merasa tidak nyaman.

Mesin mobil pun dinyalakan dan dalam hitungan detik mobil melesat dengan kecepatan tinggi. Kak Luthfi mengemudikan mobil dengan membabi-buta, seolah ia adalah Kimi Räikkönen yang tengah berada di sirkuit Formula 1. Aku tidak mengerti apa yang ada dipikirannya saat ini, hanya saja aku merasa bahwa ia sedang melakukan aksi penolakan terhadapku. Aku bahkan belum menerima jawaban dari adiknya, dan kini kakaknya menunjukkan kode penolakannya terhadapku. Sepertinya, perjuanganku ke depan tidak akan mudah.

Jangan tanyakan apa yang terjadi setibanya kami di gerbang keberangkatan. Hingga pesawat yang membawa Amira terbang, kak Luthfi tak sedikitpun menunjukkan keramahannya padaku. Ada rasa kecewa yang menyesap di hati tetapi perlahan aku bisa berdamai dengan kekecewaan itu. Aku berusaha mengerti bahwa sikap kak Luthfi menunjukkan sisi protektifnya terhadap Amira. Jika aku berada di posisinya, aku juga pasti akan sangat selektif saat ada laki-laki yang berusaha mendekati adik semata wayangku. Sikap penolakannya mungkin adalah bentuk kasih sayangnya kepada Amira dan tugasku adalah untuk tidak pernah menyerah hanya karena kode penolakan ini. Mungkin ini juga adalah konsekuensi dari rasa ragu yang menderaku dulu. Rasa ragu yang tak hanya menyakitiku, tapi juga Amira.

Beberapa jam berselang, ponselku berdering menunjukkan nama Amira di layarnya. Segera aku mengangkatnya dan terdengar ucapan salam dari seberang sana.

"Kak, maafkan sikap kak Luthfi tadi. Aku sangat tidak enak apalagi sama Ibu. Pasti beliau tidak menyangka kakakku akan bersikap seperti itu."
.....
.....
Ada jeda sejenak hingga aku menjawab

"Aku tadi sedikit kecewa, tapi aku dan ibu bisa mengerti. Jadi, jangan merasa terbebani." Kuharap kalimat itu bisa menenangkannya.

Tidak banyak yang bisa kami bicarakan hingga kami memutuskan untuk mengakhiri panggilan telepon itu dengan canggung.

***

Aku tahu Amira pasti akan berdoa yang terbaik untuk hubungan kami. Apakah kami akan bersama nantinya, atau jodoh berakhir sampai di sini saja, Allah-lah yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk kami. Aku pun tak ingin kalah dari Amira. Kupanjatkan doa pada Sang Pemilik Hati berharap  kami senantiasa dikuatkan dan bersyukur dalam menghadapi apapun yang Allah tuliskan untuk kami di masa depan.

To be continued...

Monday, October 16, 2017

Niskala Rasa Ep. 4: Keyakinan

3

Kyuhyun - Still MV


Mungkin aku adalah manusia terbodoh di bumi ini, membiarkan diriku larut dalam kerinduan yang sengaja kuciptakan sendiri. Hampir sebulan aku menahan diri untuk berkomunikasi dengannya lagi dengan alasan ingin kembali meyakinkan diri. Lebih bodohnya, ketika keyakinan itu sudah mulai membulat, ku kikis ia hingga kembali persegi dengan berbagai persepsi yang penuh ragu akan diri sendiri.

Segitu takutnya aku kehilangan debaran itu, hingga saat ia sedang gila-gilanya aku terus menahannya. Tak kusadari bahwa semua itu hanya kesia-siaan yang makin menambah level debaran yang ku rasa dari sekedar gila menjadi liar. Kemudian berujung pada tangis yang berusaha ku redam di dalam kamar.

Kegundahan yang ku rasa mau tak mau mempengaruhi kerjaku di kantor. Aku banyak terdiam, kurang fokus, bahkan suatu hari, Pak Rahmat pimpinan di perusahaan menegurku karena mendapatiku sedang melamun.

"Hid, akhir-akhir ini kamu banyak gak fokusnya. Ada masalah?" Suara lembut nan tegas pak Rahmat baru terdengar jelas ketika ia menepuk pundakku.

"Ah... Tidak kok, pak. Mohon maafkan saya, Pak."

"Hid, namanya masa muda memang gitu. Banyak ragunya, banyak labilnya. Hari ini on fire, besok tiba-tiba down. Tapi sebenarnya ragu-ragu itu awal yang baik untuk menjadi dewasa asalkan cepat-cepat disikapi dengan keberanian untuk bertanggung jawab. Hari ini ragu gak apa-apa, artinya kamu masih memikirkan konsekuensi dari tindakan yang kamu lakukan. Tapi, ragunya jangan kelamaan. Pikirkan matang-matang, sikapi, hadapi. Itu baru anak muda." Pak Rahmat kembali menepuk pundakku seolah menyalurkan energi positifnya.

Dia berlalu dengan senyum misterius seakan-akan ia dapat membaca isi kepalaku tanpa perlu kukatakan padanya.  Semua yang dikatakannya benar, aku ragu karena aku takut. Aku takut suatu hari debaran itu hilang. Aku takut kami tak bisa bersama hingga maut memisahkan. Aku takut tak mencintainya lagi suatu hari nanti. Tapi untuk apa aku takut ketika aku memiliki begitu banyak cinta untuknya. Untuk apa aku takut ketika saking berharganya rasa ini, aku takut kehilangannya. Untuk apa aku takut, ketika aku bisa memupuk cinta untuknya setiap hari. Aku tak perlu takut.

Deru mesin pesawat kini menjadi soundtrack rasa rinduku yang sebentar lagi akan tunai. 45 menit jarak dari bandara Singai Nibandera ke Bandara Sultan Hasanuddin terasa amatlah lama.
Kuputuskan untuk memandangi awan beriring melalui jendela pesawat kegiatan yang amat kusukai setiap kali bepergian via udara. Perlahan aku mulai dirayapi rasa was-was membayangkan reaksi Amira saat kami bertemu nanti. Gadis itu pastilah amat marah dengan sikapku yang menghilang begitu saja kemudian muncul kembali secara tiba-tiba. Bagaimana jika ia menolak untuk sekedar bertemu denganku? Bagaimana jika kesempatan untukku sudah tidak ada lagi?

Hey, anak muda. Jangan dikuasai rasa ragumu. Mencobanya saja belum, sudah ciut duluan!

Itu bukan suara siapa-siapa. Itu suara dari dalam diriku sendiri yang sedang berperang melawan keraguanku. Perang yang akhirnya dimenangkan oleh kesiapanku menerima semua reaksi Amira nantinya. Entah dia akan memarahiku, menamparku, atau memalingkan pandangannya dariku untuk selamanya, aku sudah siap.

***

Gadis itu kini duduk di hadapanku, menyesap Lattenya dalam diam. Sesekali ia menyibukkan diri dengan ponselnya.

"Maafkan aku," kalimat itu terdengar bergetar keluar dari mulutku.

"Kakak gak salah apa-apa."

Ia kelihatan tenang, tapi aku tau kalimat itu bermakna aku telah melakukan kesalahan yang terlampau besar.

TO BE CONTINUED...

Monday, September 25, 2017

Niskala Rasa Ep.3: Keraguan

2


Yesung - Paper Umbrella MV


Perjalanan tak selamanya mulus dan lancar. Kadang kita akan menemui jalanan berbatu, berliku-liku,  macet, berlubang, dan segala macam cobaan yang membuat kita ragu untuk melangkah. Begitulah yang kurasakan pada hubunganku dan Amira saat ini. Ada sedikit keraguan di sana. Hubungan kami selama ini baik dan lancar-lancar saja. Aku bahkan sangat mengharapkan ia adalah takdir yang telah digariskan Tuhan untukku. Namun, pertemuan dengan sahabatku membuat nyaliku sedikit ciut untuk melangkah maju.

"Mana Masita? Kok gak bareng?" Aku bertanya karena heran Roy, sahabatku tak datang bersama isterinya.

"Hubungan kami sudah berakhir, Hid. Mungkin karena kami tidak memiliki waktu untuk saling mengenal lebih lama. Aku dengan cepat memutuskan untuk menikahinya saat kami diperkenalkan oleh keluarga kami."

Kisah Roy sama persis dengan hubunganku dengan Amira saat ini.

"Waktu itu aku sangat menggebu-gebu, berbunga-bunga, seolah aku dan Masita memang ditakdirkan untuk bersama. Nyatanya, hubungan kami tak berjalan mulus. Ia sering menangis karenaku dan kami tak dapat mencegah perpisahan." Ada jeda. Kami terdiam.

"Bagaimana denganmu, Hid? Sudah punya calon?" Roy melanjutkan.

Aku  pun menceritakan tentang hubunganku dengan Amira yang cukup sehat untuk dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius.

"Hid, sebagai sahabatmu, aku cuma menyarankan agar kau pikirkan baik-baik lagi keputusanmu menikahi gadis itu. Aku rasa kau cukup tau karaktermu yang mudah bosan dan tak pernah puas. Aku tidak bermaksud meragukanmu, kawan, tapi aku juga tak mau kalau kau bernasib sama dengan sahabatmu ini."

Perbincangan itu sangat menggangguku. Meski sedikit kecewa tak mendapat kalimat dukungan dari sahabatku, aku mengakui bahwa apa yang dikatakannya  tentang diriku benarlah adanya. Pertanyaan silih berganti bersemai dalam benakku. Apakah rasa sukaku pada Amira akan bertahan? Ataukah tabiatku yang suka mencari-cari kelemahan orang lain bahkan menolak orang lain tanpa alasan belumlah hilang? Amira adalah gadis baik yang tak ingin kusakiti. Bagaimana jika debaran itu tiba-tiba menghilang dan aku menyakitinya?

Beberapa hari ini aku sama sekali tidak menghubungi Amira. Sekali dua ia menghubungiku namun aku mengabaikannya. Setelah itu tak adalagi telpon maupun pesan darinya. Keadaan itu sangat menyiksaku.

Setiap malam aku berdoa memohon petunjuk Sang Pemilik Hati. Berharap hati hamba yang meragukan diri sendiri ini menjadi lebih tenang dan bijak. Jika memang Amira adalah jodoh untukku, aku memohon ketetapan hati. Jika tak ada jodoh di antara kami, aku memohon agar gadis sebaik Amira mendapatkan pria baik yang tak meragukan perasaannya.

Malam ini, aku tertidur dengan rasa rindu pada gadis itu. Gadis yang mungkin telah membenciku karena tiba-tiba menghilang. Malam ini aku tertidur berselimut duri keraguan yang kutabur sendiri. Kuharap tak ada air matanya yang menetes karenaku.

To be continued...

Niskala Rasa Ep.2: Pertemuan

0


Dialah Amira, gadis yang tengah duduk tersipu di samping ibunya. Entah ada magnet apa yang menarik pandanganku, hingga aku rela berkali-kali mencuri pandang ke arahnya. Namun kecewa akhirnya, karena gadis itu tak sekalipun melihat ke arahku.

Apa aku objek yang tak kasat mata di hadapannya?
Ataukah dia tak menginginkan perjodohan ini?
Untuk pertama kalinya dalam misi ibu mencarikanku pendamping hidup, aku merasa takut untuk ditolak.

“Nak Amira, gimana S2nya?” suara ibu membuyarkan lamunanku.

“Sudah tahap penyusunan thesis, tante. InsyaaAllah kalau lancar, tahun ini bisa selesai.” Jawab gadis itu bersemangat.

“Kalo Syahid gimana?” Kini giliran ibunya yang bertanya. “Kerja di pertambangan seru gak?”

“Alhamdulillah tante. Banyak tantanganya sih. Tapi saya enjoy dan semuanya lancar.”

Begitulah perbincangan keluarga ini mengalir. Orang tua kami dengan akrab membahas apa saja yang bisa mereka bahas. Sedangkan kami, hanya duduk bak anak manis dan sesekali menjawab saat ditanya. Akhir dari pertemuan ini adalah kesepakatan mengenai perjodohan yang akan dibicarakan lebih lanjut nanti. Aku dan Amira, lebih tepatnya orang tua kami, memberi waktu untuk saling mengenal terlebih dahulu.

Jauh-jauh ke Jeneponto dari Kolaka dalam rangka melaksanakan misi ibu setidaknya tidak sia-sia. Ibu merasa bahagia dan aku pun tak ingin menolak untuk mengenal gadis itu lebih jauh. Entahlah. Semua terasa menyenangkan, kecuali kenyataan bahwa ia tak sedikit pun melihat ke arahku selama 3 jam aku berada di rumahnya. Tapi aku merasa ada sesuatu yang membahagiakan di dalam sana. Aku merasa lengkap tanpa tau apa penyebabnya. Bibirku melengkungkan senyum, menatap layar ponsel yang bertuliskan nomor gadis itu. Apa dia juga bahagia? Aku membatin.

*

“Hid, cemberut aja sih. Itu hape salah apa memangnya sampai dicemberutin?” kata bapak tiba-tiba duduk di sampingku, menyetel TV dan menonton pertandingan bola PSM vs Persib.

Bagaimana tidak kesal, sudah satu jam sejak ucapan salam itu kukirimkan melalui whatsapp tapi gadis itu belum juga membalasnya. Apa dia akan mengacuhkanku seperti ini? Menolakku tanpa sepatah kata pun? Sekacau inikah perasaan para gadis yang kutolak dulu? Aku tau karma itu ada, tapi aku tak menyangka akan menerimanya secepat ini.

“Pak, menurut bapak cewek itu rumit gak, sih?”

“Cewek itu sebenarnya sederhana. Bapak analogikan seperti bola.”

“Maksud bapak musti dikejar terus ditendang?”
Jari-jari bapak yang dihiasi batu akik sukses mendarat di kepalaku.

“Dengar dulu kalo orang tuanya ngomong. Hati wanita itu bagaikan gawang yang dijaga oleh kiper. Ia akan terus-menerus menjaga pertahanannya.  Lalu apa yang harus dilakukan untuk bisa meruntuhkan pertahanan itu? Usaha. Ciptakan peluang. Jangan berhenti hanya karena dihalau sekali dua. Hati wanita itu tidaklah serumit yang kita pikirkan. Mereka hanya ingin melihat usaha kita. Seberapa besar kita memperjuangkan mereka. Dan Gooooolllllll.”

Nasihat bapak diakhiri dengan teriakan panjang yang membuatku terkaget. Ferdinand Sinaga baru saja menjebol pertahanan Persib Bandung setelah berkali-kali ia mencoba.

Bersamaan dengan uforia kemenangan PSM, ponselku bergetar menandakan satu pesan masuk.

Wa'alaikumussalam

Aku spontan berdiri dan menari bahagia, menemani bapak yang juga sedang merayakan kemenangan PSM. Tak ingin menyia-nyiakan momentum, buru-buru kuketik pesan balasan.

Satu jam kembali berlalu, dan lihatlah betapa gadis itu sudah mempermainkan emosiku sedemikian rupa. Setelah senyumku terkembang karena salamku dijawab olehnya, kini aku kembali dibuat menanti dengan kesal hanya untuk mengetahui apa yang sedang dilakukannya saat ini. Apa dia sesibuk itu? Atau dia sedang menjalankan misi “hard to get” agar aku penasaran? Apapun misinya, dia telah berhasil membuatku sekacau ini. Tapi Ferdinand takkan mampu mencetak gol jika ia menyerah, bukan?

**

Tak terasa, sudah sebulan aku dan Amira saling berbalas pesan via whatsapp. Benar kata bapak. Pertahanan Amira perlahan-lahan mulai melonggar. Dulunya, ia hanya menjawab pertanyaanku dengan singkat. Sekarang, jawaban itu sudah disertai dengan beberapa keterangan pendukung. Bahkan, kini ia mulai mengirimiku pesan terlebih dahulu.

Pernah suatu hari, aku amat sibuk dengan pekerjaan di kantor sampai-sampai tak sempat untuk sekedar memegang ponselku. Kebiasaanku untuk mengirimi Amira pesan pun tak kulaksanakan hari itu. Sesampainya di rumah, aku melihat ada dua pesan yang dikirimkan olehnya. Agak terdengar berlebihan, tapi rasa lelahku rasanya menguap begitu saja. Sepertinya gadis itu merindukanku. Tidak, dia pasti merindukanku.

Segera kutekan tombol telpon pada layar ponselku. Tak disangka, ia menjawab telponnya sebelum nada sambung sempat terdengar. Untuk pertama kalinya, aku dan Amira mengobrol sebanyak itu. Di titik ini, Amira adalah definisi bahagia menurut versiku.

To be continued..

Dalam Fiksi

0


This is my favorite song of BEAST (Korean Boyband). The lyrics are so sad yet meaningful. This is how my mind  imagined the story. I recommend you to listen to the song. Here is the link :
Fiction

Hope you enjoy!

I can’t still forget you
I still can’t trust anything
Even today I can’t send you away like this

Aku berada di ruangan berdinding putih. Fotomu tergantung di setiap sisi. Cantik. Kau memang cantik. Bukan hanya parasmu, hatimu pun demikian. Apa aku seburuk itu hingga takdir tak mengizinkan kita untuk bersama? Kau pergi dengan senyum merekah, seolah perpisahan memanglah jalan terbaik bagi kita berdua.

Benar! Aku tidaklah sepertimu. Rasanya sangat sulit untuk menerima semua ini. Tangan kita yang saling menggenggam erat, terurai dengan perlahan hingga ia terlepas dan tak bisa kuraih lagi. Cairan bening menumpuk di pelupuk mataku, hingga aku terlelap dalam isakan sambil memeluk harapan untuk bersamamu lagi.

I will rewrite again
Our story will not end
I will burry fact that reality is seeping into my skin for now
I will rewrite once again
The start beginning with you and I smiling happily
In case you will leave me
The background is a small room without an exit


Suara ayam berkokok membangunkanku. Samar-samar kulihat siluet yang kurindukan berjalan ke arahku. Masih berusaha mengembalikan kesadaran kau telah terduduk manis di sampingku, menyingkap selimut yang masih membalut tubuh ringkihku, lalu melempar senyum bahagia.

Ruangan ini terasa berbeda.  Tak ada celah sedikitpun untuk keluar. Namun mentari seakan bersinar mengelilingimu. Tak apa! Kita berdua berada di ruangan tanpa pintu pun tak apa. Selagi dirimu berada di sisiku, aku tak membutuhkan apa-apa lagi.

I kiss you as if there is nothing wrong
I can’t leave your sweet presence
There is no such thing as an end for us


Aku menggenggam erat tangan lalu mengecup keningmu sekilas. Aroma manis memanjakan indera penciumanku. Ini memang benar dirimu. Kepahitan yang melandaku seolah menguap dan seketika menghilang tergantikan manisnya hadirmu. Kehadiranmu memenuhi hati dan pikiranku hingga ingatan pahit itu tak memiliki celah untuk menggangguku lagi. Aku dan kau kini bersama kembali. Aku tak merisaukan apapun, bahkan perpisahan. Tidak akan ada akhir dalam kisah kita.

Right now, there are only happy stories here
The very happy stories of just two of us
(different from reality) is written here
It’s slowly filling up


Apa kau bahagia bersamaku? Senyum merekahmu seolah menjawab mengiyakan. Mari kita memulai lagi kisah ini dari awal. Merancang kebahagiaan tanpa perlu melibatkan siapa-siapa, hanya kita berdua. Mengisi hari demi hari dengan kebahagiaan yang tiada akhir.

I run towards you and embrace you
I can’t never let  you go
There is no such thing as an end for us
I will say this again, one more time
Right now, you are next to me
I’m believing like that


Aku terkejut ketika kau berjalan menjauh. Jangan!Kau jangan pergi!Secepat mungkin aku merengkuhmu dalam pelukanku. Aku takkan pernah melepaskan pelukan ini. Seperti kataku, tidak akan ada akhir dalam kisah kita. Kau mengangguk kemudian duduk di sampingku. Kita duduk bersisian sambil memandang satu sama lain. Bola mata cokelat itu seolah menyinari kehampaan ruangan ini. Kuyakinkan diriku sekali lagi bahwa kau ada di sampingku.

“Aku mencintaimu.” Bisikku.

**


Seorang pria tampak bermandi peluh dan air mata. Tangannya dengan sigap menuliskan kata demi kata pada selembar kertas usang. “Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu.” Seolah tak kenal lelah, ia terus menuliskan kalimat itu tanpa henti. Ia tak tahu, akhir seperti apa yang akan dituliskannya. Ia kehilangan arah, dan hanya mampu menuliskan rasa cintanya berulang kali. Di benaknya, kisah itu baru saja dimulai dan takkan pernah berkahir. Jika nyata tak mendukung, ia sanggup hidup dalam fiksi selamanya.

I’m the writer who lost his purpose
The end of this novel, how I supposed to write it
I love you. I love you. I love you. I keep writing this three words
Setting the worn out pen on the paper strained in tears
This story can’t be happy or sad
I am happy we are together
Now is the start, there is no end (Fiction in fiction in fiction)

Saturday, June 10, 2017

Niskala Rasa Ep.1 : Pencarian

0


Inspired by a true story with some fiction in it


“Aku tak tahu apa yang kucari, hingga aku bertemu dengannya”

**

“Hid, kapan kamu mau ngenalin calon kamu ke ibu?” tanya ibu bukan pada suatu hari.

Pertanyaannya terdengar biasa namun lama-kelamaan ia terasa bagai bom waktu yang menerorku setiap detiknya. Bagaimana tidak, pertanyaan ini sudah diulang-ulangnya sejak berbulan-bulan lalu saat usiaku genap menginjak 25 tahun. Bukannya aku tak ingin memperkenalkan seseorang kepada ibu, hanya saja tidak ada seseorang yang bisa kuperkenalkan padanya. Ibu pun melirikku tak percaya setiap kali kalimat “belum punya calon” terlontar dari mulutku. Di benakku, untuk apa buru-buru menikah. Aku toh masih muda, masih ingin berekspresi dan mengejar mimpi sebebas-bebasnya. Lagipula aku belum mapan. Kasihan istriku nanti, kan?

“Hid, mapan itu bukanlah tolak ukur kapan kamu bisa menikah. Kamu kan sudah dewasa, sudah punya masa depan, ada baiknya niat baik itu jangan ditunda-tunda hanya karena kamu merasa belum mapan. Memangnya standar kemapanan kamu itu bagaimana sih, nak? Hati-hati sama target yang abstrak. Nanti kalo nggak nikah-nikah nyesel loh!" Ibu memulai ceramahnya lagi sambil berusaha memasukkan benang ke dalam jarum.

Aku sedikit banyak bisa mengerti perasaan ibu. Ia tidak ingin melihatku terlena mengejar karir nan tinggi hingga lupa bahwa aku membutuhkan seseorang untuk menyempurnakan agamaku dan menemaniku mengarungi bahtera kehidupan. Aku ingat betul kata-kata gombal bapak. “Ibumu itu adalah bintang utara saat bapak kehilangan arah di lautan bergelombang. Pokoknya kalo nggak ada ibu, bapak udah nyasar nggak jelas. Nikah itu ibadah loh. Dapat pahala, dapat partner dalam segala situasi.” 

Apa aku sebaiknya menikah saja menuruti keinginan mereka? Tapi dengan siapa? Aku berjalan menuju kamar dan meninggalkan ibu yang sudah sibuk dengan jahitannya. Takut beliau membahas lagi masalah pernikahan yang tak ada pangkal ujungnya.

*

“Ibu mau nggak nyariin calon buat Syahid?” kataku setelah seminggu lebih merenungkan perihal pernikahan.

“Apa?” Kata ibu memastikan pertanyaanku barusan disertai dengan mata setengah terbelalak dan mulut agak menganga pertanda beliau terkejut.

Benar yang dikatakan bapak dan ibu bahwa usiaku sudah matang untuk memulai kehidupan rumah tangga. Di sisi lain aku betul-betul tak memiliki seseorang pun untuk dijadikan pasangan. Meminta ibu untuk mencarikannya untukku sepertinya adalah pilihan yang tepat. Beliau tidak akan memilih dengan sembrono terlebih ini untuk putra bungsunya, bukan?

Selepas deklarasi permintaanku dicarikan pendamping, hari-hari ibu kian sibuk. Dengan semangat ia akan menanyai kenalannya satu per satu untuk memastikan, apakah mereka punya anak atau kolega yang bisa dijodohkan denganku. Selincah agen biro jodoh, ibu dengan cepat mendapatkan calon yang dianggapnya cocok untukku.

“Hid, Bu Rika punya anak gadis. Ibu lihat anaknya sopan dan cantik. Ibu dengar dia juga lagi cari pasangan. Kalo kamu mau, ibu bisa aturkan pertemuan sama keluarganya.” Kata ibu sepulangku dari kantor.

“Maksud ibu si Dewi? Syahid nggak mau, bu.” Tolakku tanpa basa-basi.

“Loh, kenapa? Kata bu Rika, si Dewi jago masak loh, nak.” Sambung ibu tak menyerah.

“Nggak ada alasan khusus sih, Bu. Hanya nggak mau aja.” Ucapku sambil berlalu tak ingin membahas hal teresebut lebih jauh.

Ibu tak menyerah sampai di situ, beberapa hari kemudian beliau memperkenalkanku dengan kemenakan pak RT, anak pak Lurah, anak Pak Arif, keluarga bu Sinta, hingga teman sekantorku. Masih dengan alasan yang sama, aku menolak semuanya. Aku juga tidak mengerti tapi aku belum mendapat seseorang yang menurutku sesuai.

Tak menyerah sampai di situ, di lain kesempatan, aku diperkenalkan dengan cucu pak Razak, Amanah. Kuakui, Amanah adalah gadis yang cantik parasnya, anggun penampilannya, dan ramah sikapnya. Bisa dibilang, dia adalah primadona desa yang dikagumi para pemuda. Namun lagi-lagi, aku tidak ingin meneruskan perkenalan itu lebih lanjut.

“Kamu tuh maunya yang kayak gimana toh, Nak? Yang kayak Raisa? Atau Isyana? Atau siapa? Masa iya dari sekian banyak perempuan yang ibu kenalin gak ada yang kamu mau sih?” tanya ibu sedikit frustasi.

“Maaf Bu. Aku juga gak ngerti kenapa gak ada yang sreg di hati Syahid.”

Apa niatku masih kurang kuat?

Sungguh, aku serius saat berkata ingin dicarikan seorang pendamping oleh ibuku. Aku juga tidak memiliki tipe khusus untuk itu. Lagipula, semua perempuan yang diperkenalkan ibu terbilang menawan parasnya. Tapi, aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang. Hatiku terasa hampa. Aku merasa kosong. Kekosongan yang masih belum bisa dimaknai oleh akalku dan hanya hatiku yang mampu memberikan jawaban atas apa yang dicarinya.

Sudah beberapa minggu ibu tidak membahas soal jodoh ataupun memperkenalkan seseorang kepadaku. Mungkin beliau sudah angkat tangan tentang masalah ini. Aku juga tidak mau mendesak ibu, toh selama ini aku yang selalu menolak calon yang ibu tawarkan.

Aku sedang menyesap kopi favorit ku saat ibu pulang dari arisan dengan wajah sumringah. Ibu memang mengikuti arisan dengan para warga rantauan asal Jeneponto, kampung halaman ibu. Apa arisan ibu naik ya? Tanyaku dalam hati.

“Hid, lebaran nanti kita harus balik ke Jeneponto.” Ucap ibu tanpa ba bi bu.

“Ibu Rani, teman arisan ibu ternyata punya ponakan di Jeneponto. Katanya dia Guru dan sekarang lagi S2. Kamu jangan nolak dulu. Pokoknya kita langsung ke rumahnya lebaran nanti.” Ibu menepuk pundakku lalu berlalu tanpa mengizinkanku mengucap sepatah kata pun.

“Ternyata ibuku belum menyerah,” aku tersenyum lega menantap punggung ibu yang menghilang di balik gorden kamarnya.

**

Gadis itu berdiri dengan wajah tersipu. Ditangannya sebuah nampan berisi 4 gelas sirup leci. Ia dengan hati-hati mengaturnya di atas meja. Aku sesekali mencuri pandang ke arahnya dan jackpot aku mendapatinya sedang tersenyum ke arah ibuku. Ada debaran indah di dalam sana. Debaran yang memberiku rasa bahagia namun tak mampu kunamai.


To be continued..

Tuesday, March 7, 2017

Aksesoris Jalan

1

Aturan yang dianggap aksesoris jalan
Berdiri kokoh tanpa diacuhkan
Saat bertemu, buta warna menjadi keluhan
Merah, kuning, hijau tak mampu dibedakan
Waktu mepet jadi alasan
Panas, terik, hujan, badai pun tak ketinggalan
Mengapa tak berusaha mendahului waktu yang terus berjalan?
Mengapa tak siapkan kaos tangan dan jas hujan?
Mengapa selalu membuat alasan?
Lalu mereka menginginkan negeri yang teratur nan aman
Dengan memandang sebelah mata aturan-aturan

Wednesday, March 1, 2017

(Bukan) Tentang Kita

2

A Short Story: (Bukan) Tentang Kita
Ratu Yunita Sekar


Perihal menyukaimu adalah hal yang tak mudah. Berkali-kali aku melawan logika agar berhenti, kemudian kudapati diriku masih melangkah ke arahmu. Berkali-kali tembok nan tinggi menghalangiku, namun berkali-kali pula aku merubuhkannya seketika. Ya, tembok yang kubangun dengan susah payah dengan mengumpulkan kepingan-kepingan ketidakmungkinan, sekejap runtuh oleh satu alasan yang cukup putus asa, “jodoh siapa yang tahu?”
***

Aku tersenyum membaca lembar terakhir diaryku di masa kuliah dulu. Di luar orang-orang sibuk menyiapkan segala sesuatu.

“Mempelai pria akan tiba pukul 9.” Itu suara ibuku entah ia sedang berbicara dengan siapa.

 “Maya, kau sudah siap dirias?” Tanteku tiba-tiba masuk kamar bersama seseorang yang memegang peralatan make up di tangannya.

Aku mengangguk lalu duduk di depan cermin tanpa aba-aba. Perlahan, kuas dengan lembut menari di permukaan wajahku. Kuharap hari ini berjalan lancar, doaku dalam hati.
--

Memiliki sahabat sejak kecil memang menyenangkan rasanya. Meski terkadang menyebalkan, kau adalah seseorang yang bisa aku andalkan. Dulu, aku selalu ingin seorang kakak laki-laki. Katamu, hal itu memang idaman termainstream semua anak sulung perempuan.

“Kakak!” aku bercanda memanggilmu seperti itu yang otomatis kaubalas dengan jitakan ringan di kepalaku.

“Kita seumuran, jangan sok muda gitu.” Katamu pura-pura marah.

“Kamu sepuluh hari lebih tua tauuuu.” Balasku tak mau kalah.

“Terserah.”

Begitulah kamu. Pada akhirnya mengalah akan kekeraskepalaanku. Mungkin ini akan kusesali di kemudian hari. Saat kau tak pernah memandangku sebagai wanita.
--

“Kau deg-degan?,” goda sang perias.

Aku tertawa mengiyakan. Tentunya. Gaun pengantin yang telah disiapkan sebulan lalu telah kukenakan juga riasan simpel sesuai requestku. Aku bisa merasakan detak jantung yang berirama tak menentu. Sayup-sayup kudengar bahwa sang pengantin pria baru saja tiba. Tanganku basah tanda gugup. Ibuku yang tak kusadari telah berdiri di sampingku menggenggamnya dengan lembut. Mencoba menenangkan, ia tersenyum menahan tangis.

“Putri sulungku sebentar lagi akan menikah. Rasanya baru kemarin ibu melihatmu merangkak, bapak mengajarimu bersepeda. Cepat sekali waktu berjalan. Meski menantu ibu adalah seseorang yang kita kenal sejak lama, rasanya ibu berat memberikan tanggung jawab ibu sepenuhnya padanya.” Perkataan ibu persis seperti apa yang bapak katakan kemarin saat aku menemaninya menonton siaran langsung bulu tangkis favoritnya.

“Ibu, jangan mellow mellow gitu ah.” Bapak tiba-tiba muncul bergabung bersama kami.

“Anak bapak yang gak pinter dandan ternyata cantik juga ya? Jangan nangis sayang. Makeupnya nanti luntur.” Bapak memang suka menceriakan suasana. Meski begitu tergambar jelas di wajahnya rasa haru seorang ayah yang sebentar lagi akan melepas putri pertamanya pada pria lain. Putri yang selama ini bergantung padanya, akan bergantung kepada orang lain sepenuhnya.
--

Aku makin lama makin bergantung padamu. Hubungan kita berjalan seperti itu. Aku selalu membutuhkanmu. Kau menjadi air saat aku sedang tersulut amarah. Kau menjadi api, saat semangatku meredup. Kau bisa menjadi pendengar yang baik lalu seketika berubah menjadi penasehat yang bawel. Kau pelawak yang payah meski begitu aku tetap tertawa jika itu adalah dirimu. Katamu, aku pun sama. Menjadi pelipur laramu. Menjadi peredam emosimu. Itu katamu, meski jelas bahwa kau berbuat lebih banyak untukku.

Aku tak pernah menyadari bahwa aku menyukaimu. Hingga suatu hari di hari-hari pertama di perguruan tinggi, aku melihat sorot mata itu. Sorot mata yang baru kulihat selama 16 tahun pertemanan kita. Sorot mata yang kutebak penuh cinta. Dan itu bukan untukku. Kau jatuh cinta untuk pertama kalinya. Harusnya aku bahagia, tapi ada sesuatu yang mengganggu di hatiku. Semacam batu yang menohok hingga tenggorokan, membuatku sesak nafas, dan ingin mengeluarkan air mata. Saat itu aku belum tahu bahwa itulah yang orang-orang namakan cemburu.
--

Sesak nafas saat gugup memang lebih menyenangkan dibanding sesak karena cemburu. Memang sesak, tetapi sesaat setelah kau menghembuskan nafas pelan-pelan, ada aroma bahagia di sana. Ijab kabul akan segera dimulai. Aku menanti di kamar dengan debaran jantung yang makin tidak karuan. Debaran terdahsyat yang pernah kualami mengalahkan debaran saat aku jatuh cinta padanya untuk pertama kali.

Kudengar suara bapak sebagai waliku. Menyatakan kalimat penyerahan tanggung jawabnya diikuti dengan suara bass khas miliknya. Tanda bahwa ia menerima tanggung jawab itu dipundaknya.

“Sah!”

“Alhamdulillah” ucapku penuh syukur masih di dalam kamar menantinya menjemputku.
--

Di tahun kedua di perguruan tinggi, kau dan dia semakin dekat. Kau selalu menyempatkan diri menjemputnya ke kampus. Orang-orang bilang kalian adalah pasangan serasi. Terkadang orang yang tahu bahwa kita adalah sahabat kecil menatapku iba. Seolah mereka tahu seperih apa yang kurasakan. Meski begitu kau bilang, kalian tak ada hubungan apa-apa. Masih PDKT katamu.
Tak lama setelah itu akhirnya kau mengakui hubunganmu dengannya. Aku tertawa terpaksa. Kau tak tahu bahkan untuk menarik lengkungan di bibir terasa sulit, tapi saat itu aku tertawa. Itu mungkin adalah tangisku dalam bentuk lain.

--

Ibu dan tante memelukku sambil menangis bahagia. Air mata yang kutahan sepagian kini tumpah ruah di pundak ibu.

Suara gorden terungkap menghentikan kegiatan tangis menangis itu. Sang pengantin pria kini telah berdiri di hadapanku, duduk di sampingku, lalu menjalankan beberapa acara adat. Syukurlah, semua berjalan tanpa gangguan.
--

Waktu kita bersama tak terganggu sedikit pun meski kau sudah punya kekasih. Tak jarang kalian bertengkar karena kau bersamaku. Itu memang wajar dan aku memakluminya. Ia jelas tak ingin berbagi perhatianmu denganku.

Hari itu kau sedih. Kau sangat mencintainya. Matamu berkata demikian. Tapi kau juga tak ingin membuatku sedih karena kehilangan sosok kakak yang selama ini kubutuhkan.


Hari itu aku ikut bersedih melihat cahaya di wajahmu meredup. Namun ada sisi lain di hatiku yang merasa bahagia. Kurang ajar memang. Aku mengaharapkan kau dan dia berpisah. Egois memang. Di redupnya cahaya wajahmu aku mendapat secercah harapan untuk memilikimu.

--

Cincin kini telah tersemat di jari manisku. Tanda bahwa aku adalah miliknya. Ia memandangku sesaat. Hanya beberapa detik tapi tembus ke relung hati. Tangannya terulur yang meski malu-malu kusambut jua. Dengan langkah yang pelan, ia menuntunku ke ruang depan, hendak mendengarkan nasihat pernikahan. Genggaman itu terasa hangat, sama hangatnya seperti dulu. Bahkan lebih hangat.
--

Pernah aku melihatmu memandangnya dari jauh. Aku iri. Aku tahu kau menyayangiku tapi dengan defenisi berbeda dengan rasa sayangmu padanya. Sorot mata seperti itu hanya kau tujukan untuknya. Aku harusnya menyerah. Rasanya lelah untuk berharap. Tapi saat kau bersamaku dengan perhatian yang begitu besar, harapan itu muncul kembali. Kau belum menjadi miliknya secara utuh. Kesempatan itu masih ada walau hanya sebesar wijen.

Suatu hari kudengar kalian resmi berpisah. Kau tak tahu hatiku berteriak kegirangan. Lalu kulihat wajahmu yang tanpa harapan. Menyedihkan. Akupun ikut menangis di dekatmu. Kumohon lihatlah aku, harapku dalam hati.

--

Dengan kikuk kami berdua duduk bersisian mendengarkan ustadz memberikan nasihatnya. Sesekali kudapati ia melirik ke arahku kemudian tersipu. Tangan itu masih menggenggam tanganku. Kuakui akupun selalu melirik ke arahnya demi melihat lirikan sekilasnya lagi juga wajah tesipu yang sangat kusuka itu.
--

Di hari kelulusan, senyummu telah kembali utuh. Kita berfoto bersama ditemani keluarga kita.


“lu mau foto berdua gak?” adikmu, Fathir menawarkan.


“Woy, kita beda 2 tahun. Kapan sih kamu panggil kami kakak. Dan lagi, kami sudah sarjana.” Kataku protes yang kutau sia-sia.


“nggak mau, gue lebih tinggi dari kalian.”
Tukk. Sukses jitakanmu mendarat indah di kepalanya. Lalu tawa pun menggema di antara kita. Aku bersyukur kau sudah ceria seperti dulu.

--

Cekrek.

Suara kamera menandakan satu kebahagiaan kembali berhasil diabadikan. Aku dan dia serta keluarga besar. Dari dulu kami sudah seperti keluarga tetapi hari ini, di mata agama dan hukum, kami resmi menjadi keluarga.

“Terima kasih,” ucapku pada pria yang kini berdiri di sampingku.
--

“Terima kasih,” ucapku pada Fathir saat ia dengan terengah-engah memberitahukan pesanmu untukku.

“Sama-sama,” katanya lalu menepuk pundakku sambil menatapku dengan sorot mata yang tak dapat kudefinisikan.


Beberapa hari yang lalu, ponselku memang bermasalah. Kau tak bisa mengirimiku pesan lewat ponsel. Aku tersenyum tak menyangka bahwa Fathir rela lari-larian hanya untuk menyampaikan pesanmu. Di sisi lain aku juga merasa bahwa Ada harapan. Aku merasakan harapan. Ya, aku memang berharap hari ini menjadi hari yang kutunggu-tunggu. Hari di mana kau bisa memandangku sebagai wanita. Bukan sebagai sahabat kecilmu yang berharga.


Aku menuju  kafe dekat tempatmu bekerja. Sesuai pesanmu kau akan menungguku di sana. Dari seberang jalan aku bisa  melihatmu duduk di dekat jendela memakai kemeja hitam putih yang paling kusuka. Kau terlihat sangat tampan. Kemeja itu cocok dengan kulit putih dan potongan rambut terbarumu. Kau tersenyum gugup dan tersipu.


“Ada apa?” tanyaku penasaran seduduknya aku di kursi di hadapanmu.


Matamu menatapku lekat. Mencoba berbicara tapi tenggorokanmu serat.


“Pelan-pelan aja. Aku dengerin baik-baik kok.”

--

Doaku didengar oleh Tuhan. Kini aku benar-benar memiliki seorang kakak. Kakak dalam arti yang sebenarnya. Telah hilang sempurna rasa sakit saat kau memberitahuku kau akan melamar mantan kekasihmu. Seiring berjalannya waktu aku belajar berdamai dengan perasaan. Dulu aku bagaikan bumi dan kuanggap engkau sebagai matahari. Kaulah yang menguasai pusat perhatianku. Hingga aku tak menyadari bahwa selama ini ada bulan yang senantiasa menemaniku.

Tak kusangka, di tengah kesedihanku kehilanganmu, adikmu selalu mengiringiku. Meraih tanganku ketika aku nyaris terjatuh saat kau sepenuhnya telah menjadi milik orang lain. Meminjamkan pundaknya meski harus basah oleh air mataku. Adikmu yang sedikit kasar tetapi sebenarnya berhati lembut. Setelah pertemuan kita di kafe hari itu, aku baru mengerti bahwa arti tepukan ringannya juga tatapan matanya saat itu adalah semangat untukku agar tetap kuat. Adikmu yang beberapa saat  lalu telah berikrar mengambil alih tanggung jawab orang tuaku dan menyimpannya di pundaknya. Ia yang kadang membuatku dongkol tak karuan mampu mengalihkan pandangan dan hatiku.

Kau tahu apa yang ia katakan waktu itu?

“Jika lu cari sosok kakak, gue mundur deh. Tapi kalo lu nyari suami, the one in front of you is the best choice.”

Dia memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, kan? Dengan lamaran yang sama sekali tak romantis, aku bisa terjerat. Anehnya, kalimat itu menjadi kalimat favorite ku hingga saat ini, dan kuyakin hingga nanti.

Aku tak pernah menyangka, tepat di hari ini, ia tengah berdiri di sampingku, bersiap menapak jalan demi jalan, lurus pun berliku, bersamaku.

Aku memang tak pernah menyangka karena perkara jodoh adalah perkara yang telah ditakdirkan.
Semua ini tentang takdir yang telah tertulis, tanpa bisa kau ungkap sebelum waktunya tiba.


-The End-

Tuesday, January 31, 2017

A Letter to Anonymous

2


Teruntukmu yang entah.
Aku menanti dengan berdebar-debar
Kadang sabar
Kadang pula tak sabar
Menanti ucapan salam di balik pintu rumah
Juga senyum kikuk yang akan kau sunggingkan
Siapakah engkau?
Yang akan menemui orang tuaku
Yang akan mengambil alih tanggung jawab mereka menjadi milikmu
Siapakah engkau?

Teruntukmu yang masih entah
Dengan hati yang masih berdebar
Juga perasaan yang kadang sabar kadang tidak sabar
Aku selalu menantimu
Telah kutulis kata demi kata
Lembar demi lembar
Bab demi bab kisah dalam kertas hidupku
Pada lembar ke berapa kisah kita akan terkisahkan?
Pada kata ke berapa namamu akan kutuliskan?
Apakah namamu sudah pernah tertoreh sebelumnya?
Atau kau akan hadir sebagai tokoh baru?
Semanis apa pertemuan kita?
Ataukah hambar-hambar saja?
Semua tanya
Masih tergantung
Hingga entah
Dalam doa
Menanti
Dengan sabar
Kadang tak sabar

“Terima kasih” ucapku lirih
Aku berkata padamu
Di suatu hari di masa depan
“Terima kasih telah menemukanku”



Monday, January 23, 2017

Pilihan

0

Baru-baru ini saya menonton sebuah drama. Drama yang menurut saya berkesan dan memiliki pesan yang baik. Pesan tentang kehidupan dan pilihan.

Ada dua tokoh sentral dalam kisah ini. Keduanya dihukum oleh Tuhan selama beratus-ratus tahun. Tetapi akhir yang mereka dapatkan justru berbeda.

Pada suatu ketika, si tokoh pertama diberi kesempatan untuk mengakhiri hukumannya. Tetapi, saat ia merasa terlalu nyaman dengan hukuman tersebut, ia lantas mengabaikannya.

Si tokoh kedua juga suatu ketika dihadapkan pada godaan untuk mengingkari hukumannya. Tetapi ia memilih untuk menanti akhirnya dengan sabar.

Si tokoh pertama hidup bahagia, melupakan apa yang seharusnya ia lakukan, dan tertawa bersama cintanya

Sedangkan si tokoh kedua memilih menahan rindunya, menahan dirinya untuk memeluk kekasih yang akhirnya dipertemukan lagi dengannya

Lalu di akhir cerita, si tokoh pertama kehilangan cintanya. Ia pun menjalani hidup dalam kesendirian, penantian, dan hukuman yang tak kunjung berakhir. Ia telah memilih untuk mengabaikan hal itu sebelumnya

Sedangkan si tokoh kedua akhirnya bisa menggenggam tangan kekasihnya, melangkah bersama menuju kematian, dan dipertemukan lagi dalam keadaan yang lebih baik di kehidupan selanjutnya.

Begitulah mereka memilih ending masing-masing.

Kisah ini seolah memberi pesan bahwa apa yang kita tuai hari ini adalah imbas dari pilihan kita di masa lalu. Kita biasanya menyalahkan keadaan atau cenderung mencari alasan atas keadaan buruk yang sedang kita alami tanpa berpikir mungkin itu adalah buah dari pilihan yang kita pilih secara tidak sadar.

Saya gagal dalam ujian padahal saya sudah belajar dengan keras, mungkin karena saya tidak mengijinkan otak saya untuk rehat barang sejenak.

Skor TOEFL saya rendah, mungkin karena saya terlalu meremehkannya di saat saya memiliki kesempatan untuk mempelajarinya dengan serius.

Keinginan saya tidak berjalan sesuai rencana, mungkin karena saya kurang persiapan dan terlalu banyak berleha-leha

Saya tidak mendapat kesempatan kedua, mungkin karena saya terlalu mudah menyerah bukannya menambah usaha

Semua tentang pilihan. Selalu tentang pilihan. Hanya saja kita sering tidak menyadari bahwa kita tengah dihadapkan pada pilihan-pilihan tersebut.

Memilih yang baik atau yang terbaik

Memilih yang baik atau yang buruk

Memilih yang buruk atau yang terburuk

MEMILIH YANG BENAR ATAU YANG MUDAH.

Friday, January 20, 2017

Menjadi Dewasa

0

Kita pernah berada dalam tahap mengira bahwa peri kecil sejenis Tinkerbell benar-benar nyata. Juga, peri ibu Cinderella akan benar-benar muncul saat air mata kita menetes di atas snowball kesayangan. Ia siap merubahkan tikus-tikus penghuni rumah menjadi boneka Pikachu yang kita inginkan. Lebih imajinatif lagi, kita berfikir bahwa memiliki pensil ajaib Sanju adalah cita-cita terbesar dalam hidup. Kita bisa menggambar game konsol idaman, karet gelang sebanyak yang kita mau, atau apa saja yang sedang hits bagi anak seusia kita.

Memiliki imajinasi semenarik itu tentu membuat bahagia. Segalanya terlihat mudah. Gampang. Namun sebenarnya kita memang memiliki dua malaikat tak bersayap yang berusaha sekuat tenaga mereka agar apa yang dimiliki anak lain bisa juga kita miliki.

Waktu berlari cepat. Ah,bukan. Ia tak berlari, ia hanya berjalan tanpa henti dan tanpa menengok ke belakang. Keinginan ternyata berbanding lurus dengan pertambahan usia. Di usia yang makin bertambah, keinginan kini tidak sesimpel mengharapkan boneka Pikachu lagi. Ada keinginan yang lebih besar dan berpotensi tak terpenuhi. Selain itu, harapan orang tua menjadi salah satu tolak ukur langkah dalam memenuhi keinginan itu. Bukan sepenuhnya menuruti apa yang mereka inginkan, tetapi jangan sampai membuat mereka kecewa. Kadang mereka menentang untuk kebaikan, kadang pula kita tak setuju dan ingin membangkang.

Muncullah tahap yang perlu diwaspadai. Tahap saat kita menyesali ketidakmampuan kita. Tahap saat kita ingin menjadi orang lain. Saat tahap ini merajai diri, bukan hanya diri sendiri yang tersakiti, mungkin orang lain, mungkin malaikat tak bersayap yang selalu mendampingi kita. Mungkin mereka akan menitikan air mata dalam diam.

Lalu ada tahap dimana kita menyadari bahwa dongeng terlalu fiksi untuk kita percayai. Menyesali diri dan orang lain adalah hal terbodoh yang kita lakukan. Air mata orang tua kita terlalu berharga hanya untuk menangisi keegoisan anaknya. Kemudian kita menjadi ikhlas bahwa keinginan tidak harus menjadi nyata. Mungkin ia menjadi pelajaran, mungkin ia menjadi pengalaman, mungkin ia menjadi keberhasilan yang tertunda hingga kita siap.

Di situlah tahap kita menjadi dewasa, saat kita bisa menerima bahwa sesuatu terjadi bukan tanpa sebab dan kita selalu bisa memetik hikmah darinya.

Friday, January 6, 2017

Promise?

0


Jingga sedang mendominasi langit
Rupanya satu hari kembali terlewati dengan sia-sia.

“Apa yang kulakukan hari ini?” teriakku frustasi.

“Hei kawan, kita menikmati hari bersama.” Suara itu entah muncul dari mana. Aku menolehkan kepalaku ke segala penjuru. Tak kutemukan asal suara itu.

“Siapa kamu?”

“Kamu tak tahu aku? Sungguh?”

Aku menutup telinga, berusaha mengabaikan suara yang seolah mengejekku.

“Berdirilah kawan, lihat cermin yang ada di hadapanmu. Tatap ia saksama dan kau akan menemukanku di sana.”

Apa? Cermin? Tunggu! Ini terasa sedikit menyeramkan. Aku sama sekali tidak ingin merasakan pengalaman mistis dalam hidupku. Tapi rasa penasaranku menang telak.

Kini aku berdiri menatap cermin, hanya ada bayangan diriku yang nampak awut-awutan. Aku pasti sudah gila. Tak kutemukan sosok suara itu seberapa keraspun aku melotot pada kaca di hadapanku.

“Rupanya kau belum sadar kawan. Aku hidup dalam dirimu. Kau merawatku dengan baik. Kau tolak mentah-mentah kewajibanmu dan memilih untuk bersenang-senang denganku. Kau ingkari logikamu. Kau lebih senang bermimpi bersamaku daripada berjuang keras mewujudkannya. Aku adalah kemalasan yang kau pelihara. Dan begitulah kau mengakhiri setiap harimu dengan penyesalan.”

Aku terpukul mendengar suara itu. Ia benar. Sungguh benar. Maka aku berjanji untuk melewati hari dengan lebih bermanfaat. Kuharap mentari segara terbit. Aku ingin segera memulai hari baru, mengakhirinya dengan rasa bangga karena berusaha sebaik mungkin, lalu esoknya memulai lagi dengan semangat yang utuh.

***

Cahaya matahari telah  menerobos kusen jendala. Kukerjapkan mataku perlahan. Kudapati diriku masih terbalut selimut hangat. Lagi-lagi aku mengingkari janji pada diri sendiri.

Thursday, January 5, 2017

[Twilight and the Moon] Weakness

0

Senja berkata kepada rembulan pada suatu hari menjelang petang, “Orang bilang indahku hanya sesaat. Orang berfikir segala yang indah hanya sekejap, seperti diriku. Betapa beruntungnya dikau, indahmu bertahan sepanjang malam. Kau temani kegelapan pengelana yang hilang arah. Kau terangi ikan-ikan yang nyaris masuk jala nelayan. Kau indah bagi semua makhluk di bumi ini.”

Rembulan pun menjawab “Wahai senja sahabatku, mungkin rona jinggamu hilang di belahan bumi utara, tapi kau masih ada di belahan bumi lainnya. Sungguh indahmu tak pernah berhenti tersebar di penjuru bumi. Bagi manusia mungkin indahmu hanya sekejap, tapi bukankah itu bagus? Kau mengingatkan mereka, tak ada yang kekal di dunia. Bahkan keindahan yang mereka jaga dan kagumi akan hilang pada waktunya."

“Wahai senja, kau memandangku indah dan menyinari, tapi tahukah bahwa cahayaku bukanlah milikku? Aku hanya meminjam cahaya sang mentari, meminjam cahayamu saat kau tenggelam dan aku terbit. Tahukah kau bahwa indahku hanya dari kejauhan? Sesungguhnya kawah besar menghuni seluruh tubuhku. Kawah yang tak bisa manusia lihat dari dari tempatnya berpijak.”

Senja terisak. Dipeluknya sahabatnya dengan lembut. “Rembulan sahabatku, kawahmu menunjukkan kekuatanmu bahwa sekalipun kau diserang jutaan meteor, kau tetap bisa bertahan di sana. Mendampingi bumi. Kau tetap di sana menggantikan mentari yang terbenam. Sehingga langit memiliki warna yang indah setiap malamnya.”

Rembulan dan senja kini saling merangkul penuh rasa syukur. Mereka hadir tidaklah sia-sia. Mereka berjanji takkan pernah mengeluh akan kekurangannya masing-masing. Apa yang mereka punya, apa yang mereka miliki patutlah menjadi anugerah yang disyukuri setiap waktu. Karena takkan menjelma bahagia, selagi mereka terus menerus mengeluh.